12. Permintaan Kala

19.7K 1.2K 291
                                    

Sebelum benar-benar pulang, Agam memutuskan untuk menemui Tristan terlebih dahulu. Tristan sedang berada di ruang kerjanya. Duduk di kursi tanpa melakukan sesuatu yang berarti. Pemuda itu hanya mengetuk-ngetuk bolpoinnya ke atas meja.

“Formulir yang dibawa Theo kemarin udah kamu isi?” Adalah pertanyaan pertama yang Agam lontarkan begitu tiba di ruangan itu.

Tristan tersentak, lantas mengangkat wajah ke arah Agam yang mendekatinya dengan ekspresi datar.

“Kalau udah bawa kemari biar Papa yang daftarkan Kala ke sekolah TK sama kelas bela diri.” Papanya duduk di kursi yang berada di dekat meja Tristan.

“Aku lupa ngisi formulirnya,” jawab Tristan jujur.

Agam menghela pasrah, ia sedikit kesal, tapi mau bagaimana lagi, ini perkara hati dan perasaan, ia tidak bisa memaksa Tristan untuk menyayangi anak itu seperti yang ia lakukan. “Isikan formulirnya sekarang. Lengkapi sama fotokopi KK, Akta kelahiran dan KTP orang tua. Papa tunggu di sini.”

Karena itu perintah Papanya, tetap Tristan lakukan meski enggan. Ia segera mengisi dua lembar formulir pendaftaran yang berbeda di hadapan Agam.

“Tristan, Papa nggak akan maksa kamu menyayangi Kala tapi setidaknya tolong peduli tentang pendidikan dia. Jangan sampai dia tertinggal karena ketidakpedulian kamu itu. Kala anak yang pintar, dia mudah mengerti apa yang dia lihat dan dia dengar. Sekarang aja, dia udah mengerti caranya menulis beberapa kata sederhana. Padahal baru diajarkan beberapa kali oleh Khanza,” jelas Agam dengan suara hangat agar Tristan tidak merasa kesal dan mau mendengarkannya hingga selesai. Tristan masih mengisi formulirnya ketika Agam lanjut bicara. “Kalau kamu punya waktu, alangkah baiknya hari senin ini kamu sendiri yang datang mendaftarkan Kala. Tapi kalau nggak biar Papa yang datang sendiri mendaftarkan anak itu.”

“Mending Papa istirahat aja di rumah biar aku sendiri yang daftarin anak itu.” Tristan meletakkan formulir pendaftaran sekolah TK ke samping dan lanjut mengambil formulir pendaftaran kelas latihan bela diri. “Harus banget ya dia belajar bela diri?”

“Harus banget,” balas Papanya cepat. “Karena ketika dia besar nanti, belum tentu ada yang mau ngelindungi dia selain diri dia sendiri.”

Sesaat, Tristan berhenti bergerak.

“Jadi Papa mau mempersiapkan Kala menjadi seseorang yang bisa melindungi dirinya sendiri kalau seandainya Papa tiada mulai sekarang.” Agam menatap putranya. “Papa nggak akan memaksa Kala untuk punya nilai tinggi di setiap mata pelajaran, tapi Papa akan menuntutnya untuk bisa melindungi dirinya sendiri. Karena kamu, Mama kamu, Kakak kamu, Kakak Ipar kamu, dan keluarga kita yang lain, kalian semua membenci Kala, kalian nggak akan mau melindungi dia.”

Tristan lanjut mengisi formulirnya walau kalimat Papanya seperti tamparan tak kasat mata yang berhasil mengenainya.

“Udah selesai.” Tristan menyimpan formulir itu ke samping, membuat senyuman Papanya tertarik lebar.

“Bagus. Jangan lupa hari senin daftarkan Kala ke TK dan kelas bela diri. Kalau kamu sampai lupa, Papa nggak akan mau liat kamu datang menemui Papa lagi.”

“Iya, Pa. Aku nggak bakal lupa.”

Agam mengangguk-anggukkan kepala. Lalu pamit pergi dengan lega pada putranya yang terlihat khawatir. Karena Tristan tahu, setegas apa pun Papanya, tetap tidak mengubah fakta bila kondisi fisik pria itu sangat rentan dan begitu lemah. Ia bisa tumbang kapan saja karena penyakit jantung koroner yang ia derita.

***

Tristan benar-benar menuruti perintah Papanya, ia datang ke sebuah Taman Kanak-kanak yang telah dipilihkan Papanya untuk mendaftarkan Kala. Prosesnya berlangsung singkat, karena ia hanya menyerahkan formulir pendaftaran serta dokumen pelengkap lainnya. Dan Tristan langsung pulang setelah diberitahu jika tes seleksi calon peserta didik akan diadakan minggu depan.

Anak Mantan (A Lovely Thing Called Hope) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang