SATU : Gadis-gadis Bangsat

7.4K 283 24
                                    

"Semua orang bakal terlihat
bangsat pada waktunya."

— Dari Egyn, Untuk Egyn

◆◇◆◇◆◇◆◇

Ini menjadi hari pertama di mana kegiatan Ospek di program studi Teknik Informatika diselenggarakan. Kalau diperhatikan nih, setiap mahasiswa dan mahasiswi baru memang rada semangat dan penuh antusiasme.

Kecuali aku. Egyn Zavinka.

Aku melewati masa-masa ospek dengan penuh ketidak-ikhlasan. Baik dari hari pertama di tingkat universitas, berlanjut ke tingkat fakultas, sampai dengan pada tingkat prodi di hari ini. Bahkan aku berniat bangun terlambat, andai saja aku lupa bahwa aku sedang tidak menumpang di rumah orang lain.

Sebenarnya, itulah faktor utama yang membuatku kehilangan minat berkuliah. Padahal niatku jauh dari orang tua agar bisa hidup sendirian sebagai anak rantau. Tapi tak kusangka bahwa mereka justru menitipkanku pada seseorang yang sekarang langganan menjadi pengemudiku tiap kali pulang-pergi ke kampus. Meski kucoba untuk minggat dari rumahnya, aku tak punya modal yang cukup perihal menyewa kost-kostan. 

Eksepsi kalau aku nekat jadi gelandangan dan hidup di pondasi kardus dan beralaskan karung bekas sampah.

Makanya, mau tak mau aku hidup bersama pria lajang yang sekarang berada di barisan tempat duduk para dosen Teknik Informatika. Di mana aku juga tak bisa menemukan sisi istimewanya dari orang tersebut ketika samar-samar para mahasiswi memujinya.

"Halo, Teman-teman sekalian! Selamat datang di program studi Teknik Informatika. Perkenalkan nama saya Naresh Zavinka, dan saya sangat antusias untuk menjadi dosen sekaligus teman kalian. Bersama-sama, kita akan menjelajahi dunia komputer dan teknologi informasi sebagai pengalaman yang berarti. Oke?"

"Oke!"

Itu dia. Om Naresh. Aku tak begitu menyukainya semenjak dia tak mengelak untuk menampungku di rumahnya. Padahal, aku sudah memberikan isyarat agar menolak permintaan orang tuaku. Tapi Om Naresh justru bilang, "Silahkan, Kak. Titipkan saja Egyn sampai dia lulus. Lumayan uang bayar kost digunakan buat yang lain."

Demi Tuhan! Aku hampir berniat melepas celana dalamku dan melemparnya ke wajah pria tersebut. 

Dia pasti mesum, bukan?! Apa-apaan bersedia hidup berdua saja denganku? 

Memang sih Om Naresh itu ganteng. Wajahnya awet muda tahu. Terlihat seperti anak-anak, bahkan mungkin lebih imut ketimbang aku yang sebagai perempuan. Tapi gara-gara niat baiknya yang sudah menghancurkan segala harapanku, semua ketampanan dan keimutan itu tidak berarti apa-apa lagi.

"Saya dosen paling muda di sini, anggap saja kita seumuran. Panggil kakak atau abang juga boleh."

Dih!  Aku hampir mau terbang ke depan sana dan merebut pengeras suara yang dia pegang dan bilang, "Babi! Gak usah sok akrab lu, Ngab!" Tapi semua harus kutahan dan berpura-pura menikmati acara yang sedang berlangsung ini.

"Cih, Si Bangsat." Kecuali saat aku mendengar seseorang mengatakan itu tanpa takut terdengar oleh orang lain.

Tentu aku tercengang dengan seseorang yang duduk tepat di sebelahku, dialah yang mengatakan itu di samping orang lain sangat senang atas sesi perkenalan dari Om Naresh. Kulihat, wajahnya juga tak suka dengan dosen itu, di balik rasa penasaranku terhadap penutup luka berwarna merah muda yang menutupi rahang kirinya, aku juga penasaran tentang sesuatu yang berhubungan dengan Om Naresh.

Hingga akhirnya kami tatap-tatapan saking terlalu lamanya aku menatap gadis itu. "Apa? Tersinggung lu dengar ucapan gue?" tanyanya.

Aku menggelengkan kepala. "Lu ngatain dosen yang barusan, 'kan?" tanyaku.

OM NARESHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang