TIGA : Langsung Oles Aja

3.4K 235 43
                                    

"Masa baju longgar pun
masih bisa dilihat dengan jelas?"
—Egyn Zavinka

Jujur saja, aku sangat ingin menghindari Om Naresh untuk beberapa waktu. Tapi sayangnya, hari ini aku benar-benar harus bicara dengannya untuk meminta izin. Kalau aku pergi tanpa mengatakan apa pun, pasti dia akan mempertanyakan bagaimana cara orang tuaku memberi didikan pada anaknya.

Jadi  ... aku akan mencobanya.

Meski masih malu setengah mati.

Devan♡
|sayang
|temuin aku
|aku kangen

Itulah alasanku ingin keluar. Yaitu setelah membaca kiriman pesan dari Devan, pacarku, yang ingin bertemu.

Jadi, menggeser tragedi video porno kiriman Aretta yang tidak sengaja terpencet pagi tadi, aku mencoba untuk mendatangi Om Naresh. Ya Tuhan, demi Devan saja, aku harus membuang rasa maluku pada pria tersebut.

Nah dari lantai dua, aku melihat Om Naresh duduk di atas tangga mini untuk memajang beberapa lukisan yang memiliki aliran naturalisme. Jangan bilang dia aneh. Meski sebenarnya memang agak aneh untuk seorang pria yang berkecimpung di dunia IT tapi suka dengan seni. Aku memang tidak tahu banyak tentang Om Naresh, bisa saja sebelumnya dia suka ikut les melukis, 'kan?

Tuhan tolong, Tuhan. Huft.

Aku menuruni anak tangga secara perlahan, dan ketika semakin bertambah langkahku, semakin kencang detak jantungku berpacu. Ingin rasanya aku putar balik, tapi doronganku untuk bertemu Devan juga tidak kalah besarnya. Jadi aku harus melakukan ini, hanya minta izin, lalu pamit pergi tanpa merasa ada sesuatu yang aneh di antara kami berdua.

Pemikiran-pemikiran itu membuatku tak mampu menyadari bahwa setiap jejak yang kutinggalkan ternyata sudah berlalu begitu cepat, kini aku sudah berada di dekatnya, tepat ketika Om Naresh turun dari tangga dan berpijak pada lantai. Dia kaget melihatku berada di belakang, begitu juga denganku meski sudah tahu bahwa kami akan melakukan kontak mata.

"Kagetnya," kata Om Naresh sambil memegang salah satu pijakan tangga di belakangnya. "Kenapa, Egyn?" Kemudian dia tanya bersama ekspresi wajah yang terlihat bersemangat untuk mendengarkanku.

Kepalaku sedari tadi menunduk, agak ragu bicara dengannya. Jadi, yang kulakukan hanya diam selama beberapa waktu.

"Kenapa?" Lagi, Om Naresh agak tertawa kecil menanyaiku.

"A-anu  ... Egyn, mau  ... minta  ...."

SIALAN! AKU BICARANYA GEMETARAN TAHU!

"He'eum? Minta uang?" Saat dia menyela, aku berani mengangkat kepalaku dan menggeleng dengan begitu cepat.

"B-bukan! Maksudnya, Egyn  .... mau, minta ... izin. Izin keluar," ujarku.

Om Naresh terlihat mengerti lalu sedikit mengangguk. "Sama siapa? Memang sudah tau sama daerah sini?" tanyanya.

Ah aku tidak memikirkan itu?! Aku akhirnya terdiam lagi untuk mencari jawaban yang tepat.

"Sama temen, dia orang sini." Aku memulainya dengan jawaban yang sederhana, sebelum lanjut berpikir untuk menjawab pertanyaan yang akan dia berikan lagi.

"Siapa?" Om Naresh berjalan melewatiku dan meninggalkan tangga yang sebelumnya dia naiki.

"Aretta." Namun ketika aku menyebutkan nama itu, dia berhenti untuk menatapku kembali. Aku tidak tahu mengapa dia seperti tidak percaya dengan apa yang kukatakan, wajahnya terlihat kurang setuju.

"Siapa tadi?" tanyanya.

"Aretta. Teman sekelasku."

Om Naresh tampak menghela napas. "Egyn enggak punya teman lain gitu?" tanyanya.

OM NARESHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang