EMPAT : Hawa Nafsu

3.8K 237 46
                                    

"Masa ada laki-laki yang
enggak tertarik dengan
perempuan?" —Egyn Zavinka

"Kenapa baju yang kukasih enggak dipakai, Sayang?" Itu merupakan pertanyaan yang Devan beri saat kami berdua tengah menunggu makanan yang telah dipesan beberapa menit lalu.

Aku segera memperhatikan jaket berukuran besar yang kukenakan sekarang. "Dipakai. Cuman  ... kurang cocok di badanku," kataku padanya.

Devan yang berada di sebelahku agak mendekat sedikit, lalu dia mengulurkan tangan untuk menyentuh pengait resleting jaket yang kugunakan. "Kata siapa?" tanyanya.

"Kata  ...." Tidak! Mana mungkin aku menyebut nama Om Naresh di sini. "Aku, he he." Jadi terpaksa aku membohonginya, di mana Devan menarik resleting jaketku ke bawah.

"Tapi aku belum lihat, Sayang," bisiknya.

Sebenarnya aku kurang merasa nyaman dengan apa yang dia lakukan di tempat umum begini. Tapi aku juga tidak berinisiatif menolaknya bahkan sampai ketika tangannya bergerak lebih jauh untuk menyingkirkan kain jaket yang menutupi bagian depan tubuhku.

Padahal, apa yang dikatakan Om Naresh sebelumnya pun memang benar. Baju kaos yang kugunakan sangat sempit, bahkan bahannya pun terbilang tipis. Hal itu mendorong bagian payudaraku tercetak begitu jelas.

"Kamu lebih cantik kayak gini." Devan agak berbisik, dan aku tersenyum canggung untuknya. "Lepas aj ...."

"Bentar." Aku menahan tangannya yang ingin menyeret jaketku agar tidak terpasang di badan lagi. "Aku  ... kedingingan," ujarku.

Tampak Devan kurang suka, tapi dia juga tidak terlalu memaksa. "Tapi biar aja terbuka, jangan dikancing lagi jaketnya," kata dia.

Aku menghela napas dan menganggukkan kepala. Di mana tak lama kemudian pesanan datang, dan pembicaraan di antara kami sempat terhenti sejenak. Mungkin karena ini adalah tempat yang baru, dan kurasa dia juga sedang mencoba beradaptasi.

"Gimana kuliahnya?" tanya Devan.

"Masih awal. Jadi baru pengenalan," jawabku, "Kalau kerjaan kamu?" Kemudian aku tanya banyak balik.

"Lancar." Dia jawab sambil mendarat tangan kirinya di atas pahaku.

Demi Tuhan, sebenarnya Devan tidak begini. Dia orang yang ceria dan banyak cerita lucu untuk mengajakku tertawa. Tapi entah kenapa setelah tiga bulan kami tidak bertemu, dia tiba-tiba berubah sedikit.

Sayangnya aku juga tidak mungkin menanyakan alasan ini secara mendadak. Kupikir, dia hanya terlalu merindukanku saja, jadi wajar kalau sedikit-sedikit dia menyentuhku.

Iya, 'kan?

Omong-omong, aku dan Devan berasal dari wilayah yang sama —sebelum akhirnya kami sama-sama ada di sini. Nah, kami kenal di zaman SMA sebagai teman sekelas, sampai dia mengungkapkan perasaannya di penghujung kelas XI. Aku menerima Devan karena dia juga melakukan berbagai macam upaya seperti perhatian-perhatian manis yang sederhana dan juga menyenangkan. Makanya, sikap lemah lembutnya sangat cocok untukku kala itu.

"Lain kali coba pakai celana pendek ya, Sayang," ujarnya.

Aku langsung menolehkan kepala ke samping. "Kenapa gitu?" tanyaku.

"Enggak apa-apa," sahutnya, "Mau lihat aja. Kangen zaman sekolah waktu kamu pakai rok pendek." Dia mengelus dan meremas pahaku, sungguh rasanya kurang nyaman, jadi aku reflek menjauhkan tangannya.

"Kita lagi makan," kataku.

Perubahan suasana pun langsung terjadi begitu cepat di antara kami. Devan tidak mengajakku bicara lagi, bahkan dia tidak melanjutkan kegiatan makannya. "Kalau kamu sudah enggak sayang, bilang aja," ujarnya.

OM NARESHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang