ENAM : Ogah, Bangsat!

1.8K 199 53
                                    

"Coba jangan asal bicara."
—Egyn Zavinka

"Aduh!" Itu respons cepat dariku saat Om Naresh menjitak bagian tengah jidatku dengan lemah.

Mengagetkan saja; tidak sakit. 

Aku seperti ditarik kembali ke realita, keluar dari lamunan yang mengerikan tentang : ditendang Om Naresh, dicekik Om Naresh, dibanting Om Naresh, termasuk perlakuan ganas lainnya mengenai perkataan tidak senonohku terhadapnya. "M-maaf, tadi Egyn beneran ngomong gitu, ya?" tanyaku sambil mengusap jidat.

Om Naresh tertawa kecil. "Egyn kira cuma halusinasi? Ngata-ngatain saya homo," ujarnya.

Ya Tuhan, ternyata aku benar-benar mengatakan itu!

"Om, maksud Egyn  ...."

"Pasti pengaruh Aretta ini, ha ha."

Aku terdiam sebentar.

BANGSAT! BENAR JUGA!

Padahal baru dua minggu aku berteman dengannya, dan efek negatif seperti ini sudah menular dengan begitu cepat kepadaku. Lagian bagaimana bisa aku menilai Om Naresh sesingkat itu?

Kecuali jika dia sendiri yang mengatakan  ....

"Kalau Egyn beneran penasaran, saya memang enggak suka dengan perempuan."

LAH, BAGAIMANA SIH?!

Jadi Om Naresh homo atau tidak?

"Tapi bukan berarti saya suka dengan laki-laki." Itu lanjutnya.

Aku menundukkan kepala. "Cuman  ... di kamar Om banyak foto Pak Laksma," kataku.

Om Naresh tergelak sangat puas sambil menarik baku handuknya untuk menutupi tubuh yang setengah telanjang sebelumnya. "Maka Egyn juga harus tau kalau di memori penyimpanan Pak Laksma banyak foto saya dan dia juga," ujarnya, "Apa foto selama laki-laki bisa jadi batasan buat ngatain orang homo?" Dia tanya tanpa membentakku sedikit pun.

Aku terdiam setelah mendengarkan itu.

"Aretta itu cuma kurang eksplorasi aja, dia enggak tahu kalau Pak Laksma punya teman dekat kayak saya. Dan Pak Laksma juga enggak kasih lihat itu terang-terangan, seakan dia manusia paling mandiri tanpa bantuan orang lain. Padahal, saya dan dia selalu sama-sama." Om Naresh menjelaskan lagi agar aku bisa merasa lebih bersalah —tentu saja! Aku sangat lesu di sini, tidak tahu apakah harus bertekuk lutut di depan Om Naresh untuk minta maaf, atau menangis saja supaya dikasihani?

"Ada lagi yang bikin Egyn masih janggal?" Tapi Om Naresh seakan masih memberikan ruang padaku untuk melihat sejauh mana pikiran menyimpang itu bisa dia atasi. Dan aku langsung teringat dengan komputer yang ada di kamar.

"Maaf, Om. Tadi Egyn enggak sengaja buka komputer punya Om yang ada di kamar," ujarku.

Om Naresh terdiam sejenak, seakan dia sedang mengingat sesuatu bersama memori yang ada di otaknya. "Ah, saya tahu," katanya, "Egyn lihat dengan jelas?" tanyanya kemudian.

Aku tidak yakin, tapi mengingat kalau aku masih mampu membayangkan bentuknya, maka kuanggap bahwa aku melihatnya dengan jelas. Jadi aku menganggukkan kepala tanpa berani menatap Om Naresh.

Anehnya, dia tertawa lagi.

"Mata Egyn ternodai dong," ejeknya.

SEKARANG JADI AKU YANG MALU, DONG!

"Oke, gimana? Gimana? First impression dari Egyn dulu nih, coba kasih tahu." Dia tiba-tiba bersemangat membahas hal ini lebih lanjut, respons aneh macam apa, Ya Tuhan?!

Orang-orang pada kenapa sih? Aneh, dasar aneh!

"Egyn cuma bertanya-tanya, itu aslinya punya siapa?"

OM NARESHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang