SEBELAS : Kenapa Digigit?!

3.4K 152 45
                                    

"Aku ini cantik, tahu!"
Egyn Zavinka

Pagi-pagi sekali, aku sudah duduk menghadap meja makan untuk menyerang menu sarapan yang sudah dipesan oleh Om Naresh. Aroma kopi yang baru diseduh menguar di udara, bercampur dengan wangi roti panggang dan telur orak-arik. Suasananya benar-benar bersama matahari yang baru saja mulai menampakkan diri, di mana sinar yang hangat menembus jendela dan menyinari ruang makan dengan lembut.

Makanya, entah kenapa ruangan ini tiba-tiba jadi terasa hangat dan nyaman, dengan meja kayu yang mengkilap dan dua kursi empuk yang diatur rapi saling berhadapan. Lalu di atas meja, bahkan selain roti panggang dan telur orak-arik, ada irisan buah apel segar juga. Aku hampir menghabiskan semuanya, sumpah, tidak bohong!

Kenapa aku jadi lapar sekali?

Aku tidak sempat memikirkan itu semua saat respon tubuhku sudah seperti orang yang tidak makan berhari-hari, juga sampai sekarang pun aku tidak bisa mengajak otakku untuk berpikir. Yang kutahu harus makan dulu, sampai kenyang, walau entah kapan.

"Egyn sudah bangun?" Kemudian kulihat Om Naresh datang bersama secangkir teh hijau yang tinggal setengah di gelasnya, dia duduk di seberangku, lalu memperhatikan aku : si perempuan yang kelaparan di pagi buta ini masih terus menyuap makanan yang ada di atas meja.

"Egyn sehat, 'kan?" Om Naresh tanya lagi setelah aku lupa untuk merespons pertanyaannya yang pertama.

"Eh? Anu, iya. Sudah, he he," jawabku, "Kenapa Om bilang gitu seakan Egyn lagi sakit?"

Dia terdiam sebentar, seakan mencoba mengorek sesuatu yang belum kupahami melalui tatapannya itu. "Syukurlah." Lalu dia bilang begitu.

Aku melanjutkan kegiatan yang sedang kunikmati sekarang, sekaligus mencoba untuk mengajak sistem memori di otakku bisa segera bekerja untuk mengantarkanku pada kenyataan. Entah fakta yang seperti apa, hanya saja aku seperti merasa kehilangan suatu ingatan yang mungkin bisa disebut penting?

"Maaf ya, mungkin ini enggak sopan. Egyn bisa aja hentikan saya kalau memang enggak mau membahasnya," ujar Om Naresh kemudian.

"Memang apa, Om? Bilang aja," sahutku.

"Egyn baru putus, ya?"

Oh? Devan, ya? Sialan! Padahal aku sudah tidak mengingat apa pun (meski sementara) tentang laki-laki tersebut. Tapi karena Om Naresh menguliknya kembali? Terpaksa aku harus mengingat segala sesuatu yang menyakitkan tentang si Devan itu.

Jadi, aku menganggukkan kepala sebagai jawaban. "Tau dari mana?" tanyaku.

"Aretta."

SI MONYET!

Apa-apaan dia jadi ikut campur urusan kami di sini? Seketika suasana hatiku jadi campur aduk.

"Bukan dia yang bilang, tapi saya yang tanya. Maaf, ya. Karena Egyn enggak mau cerita sih." Om Naresh menjelaskan itu semua secepat mungkin sebelum aku salah paham pada Aretta, tapi meski dia sudah melakukannya, aku tetap akan menempeleng kepala gadis itu supaya lain kali dia tanya dulu padaku mengenai hal-hal seperti ini.

Atau ....

Jangan bilang kalau dia sudah mencoba menghubungiku?

"Egyn, masa cuman karena putus cinta sampai harus kayak gitu?" tanyanya.

MEMANG SIAPA JUGA YANG SAMPAI MAU BEGINI, HAH?

Aku menghela napas tanpa merasa canggung untuk menjadi ekspresif di depan Om Naresh. "Om enggak pernah pacaran pasti," kataku.

"Enggak ada hubungannya," sahut Om Naresh.

"Ya, ada dong. Ketika kita udah cinta sama seseorang, terus tiba-tiba kita pisah, rasanya sakit banget."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 31 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

OM NARESHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang