SEPULUH : Mabuk

3.6K 166 68
                                    

"Info move on."
Egyn Zavinka

"Egyn?" Kedua mataku terbuka saat mendengar suara yang berasal dari luar pintu kamarku. Sebutlah ini tindakan yang kurang ajar, karena aku tidak tertarik memberikan respons apa pun. Bahkan bukan pada Om Naresh saja, sebab menanggapi isi hatiku yang dipenuhi banyak pertanyaan saja aku hanya menumpukkannya tanpa jawaban yang jelas.

Jadi, itulah mengapa Om Naresh kemudian mendorong pintu kamar yang memang tidak terkunci. "Egyn?" Dan memanggilku lagi sembari melangkah ke dalam.

"Iya, Om." Kemudian aku baru menjawab.

"Egyn enggak mau sarapan?" tanyanya.

"Enggak, Om," jawabku lagi.

"Saya sudah pesan makan buat Egyn, enggak mau dicicipi dulu? Atau saya bawakan ke sini?" Dia sangat berusaha untuk mengajakku berpindah posisi, tapi sayang aku sangat  ingin memanfaatkan akhir pekanku sebagai : hari memperingati ambang pusat tergalau atas nama Egyn Zavinka yang baru saja putus dua hari yang lalu.

Om Naresh mana tahu itu, sebab aku belum menceritakan apa pun padanya. Dan meski kuceritakan, mana mungkin dia paham bahwa aku sangat menyayangkan hubunganku dengan Devan yang sudah berakhir begitu saja.

Kenapa begitu?

Sebab dua tahun bukan waktu yang sedikit. Ada banyak sekali kisah yang kulakukan bersama Devan. Mungkin kalau dijadikan sebuah novel, kisahnya tidak kalah manis dari novel-novel romansa fiksi remaja yang biasa dibaca oleh anak-anak sekolahan.

Aku juga tidak mungkin menceritakan itu kepada Aretta agar dia bisa merubah sudut pandangnya pada Devan. Lagipula gadis itu sangat keras kepala, kalau dia bilang kontol, ya sudah sampai akhir tetap kontol.

Sebabal itu!

"Dengar, Egyn. Saya harap Egyn makan sesuatu hari ini, karena saya enggak di rumah. Sebenarnya saya mengkhawatirkan Egyn juga, tapi saya harus ke ICT mengurus sesuatu." Om Naresh mengatakan itu sembari berjongkok di pinggir kasur untuk menatap wajahku yang tidak mandi sejak kemarin. "Saya enggak tahu pulangnya kapan, tapi saya usahakan lebih cepat. Buat ngecek keadaan Egyn lagi," katanya.

Aku berkedip beberapa kali di depannya, menikmati bagaimana indahnya Om Naresh pagi ini. Ketika dia sukarela tertampar oleh ramahnya sinar mentari, menghalangi cahaya silau yang sudah mengangguku sejak mereka muncul. "Om enggak usah mikirin Egyn," jawabku.

"Mana mungkin," katanya.

"Kenapa?"

"Karena Egyn keponakan saya, dan sudah jadi tanggung jawab saya selama Egyn di sini. Saya juga harus melaporkan segala sesuatu tentang Egyn, dan mana mungkin saya bilang kalau Egyn enggak ada makan pagi ini. Nanti orang tua Egyn marahin saya."

Aku cukup terhibur dengan kata-kata yang terdengar sederhana dan penuh tanggung jawab itu. "Nanti Egyn makan," jawabku, "Om bisa bilang ke Mama dan Papa kalau tadi udah sarapan."

"Tapi beneran dimakan, ya," pesannya.

Aku menganggukkan kepala, di mana Om Naresh kemudian berdiri. "Saya pergi dulu, kalau ada apa-apa, jangan sungkan kabarin saya," katanya, "Mau kirim sesuatu yang aneh juga enggak apa-apa, saya enggak bakal mempermasalahkannya, Egyn."

Sialan! Ucapannya hanya mengingatkanku atas tindakan bodoh yang pernah kulakukan padanya. Mataku terpejam untuk menyesali hal tersebut. "Om Naresh." Sebelum akhirnya aku memanggil dia yang sudah berjalan sampai ambang pintu. "Minta tolong," ujarku.

"Iya?" responsnya, di mana dia langsung berjalan lagi ke dekatku. 

"Tutupin gorden." Aku menyengir sebelum bersembunyi ke dalam selimut. Entah bagaimana raut wajah Om Naresh setelahnya, tapi yang kutahu, dia benar-benar menggeserkan gorden di jendela kamarku hingga ruangan ini jadi lebih terasa tentram.

OM NARESHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang