SEMBILAN : Sebangsa Gorila

1.8K 162 31
                                    

"Maaf kalau terlalu
perasaan." —Egyn Zavinka

Aku sangat terengah-engah saat menjauhkan bibir dari rengkuhan yang kulakukan pada Om Naresh, lalu menatapnya dalam-dalam, bersama kedua mataku yang masih terasa sangat panas dan berair. Pria itu juga tidak mengatakan apa pun selain memperhatikan bagaimana mirisnya kondisiku saat ini, entah apa yang dia pikirkan, aku hanya tahu kalau matanya tengah memaknai tragedi : ada sesuatu yang terjadi padaku.

"Mau minum?" Kemudian dia mengarahkan gelas di tangannya di antara wajah kami berdua.

Aku langsung merebut gelas itu, lalu meminum isinya sampai tak tersisa satu tetes pun. Mungkin Om Naresh mampu membatasi bahwa sekarang adalah akhir dari pertemuan kami malam ini. Tapi sayang aku merubah segala kemungkinan positif yang dia pikirkan dengan menciumi bibirnya lagi.

Sebab aku sangat penasaran.

Kenapa dia tidak membalasku? Padahal aku melumatnya dengan penuh nafsu.

Kenapa dia hanya diam tanpa memberikan peringatan? Padahal aku begitu bergairah malam ini.

Dan kenapa  ... aku hanya bergerak sendiri?

Bahkan aku tidak merasakan tanda-tanda bahwa dia menerimaku. Sebab bibirnya tidak bergerak sedikit pun. Meski kugigit, dia hanya mendongak perlahan sebagai respons sakit yang telah kuberikan.

"Kamu enggak menarik sama sekali."

"Badan kamu itu, bener-bener jelek dan enggak seksi."

"... aku enggak bisa menemukan sisi menggodanya sedikit pun di kamu."

Sial! Memikirkan segala yang dikatakan Devan tadi sore, aku semakin terisak dan memperkuat gigitanku pada bibir Om Naresh. Dan demi Tuhan, dia sama sekali tidak mempermasalahkannya.

Maksudku, jika memang aku melakukan kesalahan, setidaknya jangan diamkan aku begini, sebab dia hanya membuatku semakin merasa kalau ucapan Devan benar.

Aku tidak menarik.

"Jahat," cicitku terengah-engah lagi.

Aku sesegukan saat melepas bibir Om Naresh. "Jahat!" Lalu mendaratkan jidatku di ceruk lehernya, memukul bagian dada pria yang tidak memiliki salah sedikit pun padaku. Saat Om Naresh sangat menyadari bahwa aku menangis semakin jadi, terasa telapak tangannya menepuk punggung belakangku dengan pelan.

"Sudah, jangan menangis," katanya.

🔞🔞

Meski aku tidak baik-baik saja, aku tidak pernah membatasi kegiatan harianku sama sekali. Bahkan sejak dulu, meski aku sakit dan diminta istirahat di rumah, aku selalu menolaknya selama tubuhku masih mampu bangkit dari kasur.

Apalagi kalau cuma karena putus cinta.

Tai!

Itu sih tidak seberapa dibandingkan DBD yang dulu nyaris membuatku logout dari dunia. Ya ... meski energiku sangat terasa sedikit hari ini, tapi aku tetap memutuskan untuk masuk kuliah.

Omong-omong, Om Naresh itu sebenarnya jarang duduk di meja makan hanya untuk sarapan --sebab dia tidak terbiasa melakukan hal tersebut. Namun sekarang, meski dia hanya bersama segelas teh hangat, dia duduk di seberangku sejak sepuluh menit yang lalu.

"Sebenarnya saya enggak tahu apa Egyn mau ngebahas ini atau enggak, cuman saya rasa ini penting untuk diobrolin dulu," kata Om Naresh, "Egyn mau, 'kan?" tanyanya.

Aku menganggukkan kepala sambil menyuap makanan yang sudah dipesan oleh Om Naresh untuk pagi ini. Semenjak bersamanya saja, hari-hari aku makan hasil yang sudah siap saji. Seakan dapur di rumah cuma aksesoris tambahan, aslinya kami tidak pernah memasak makanan sendiri kecuali untuk memanaskan sesuatu atau merebus air mie.

OM NARESHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang