BAB 2 : AMORVENCY

102 23 50
                                    

"APA YANG KALIAN LAKUKAN DI KEDAI TEHKU!?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"APA YANG KALIAN LAKUKAN DI KEDAI TEHKU!?"

Dengan sigap, Arabella segera menghampiri Alaric dan merebut cangkir keramik putih antik yang masih ia pegang erat, lantas meletakkannya kembali di meja. Dari ekor mata Arabella, tertangkap wajah sinis Alaric yang menatap lurus ke arahnya. Namun, ia abaikan. Wanita itu sibuk meminta maaf dan berusaha memohon pengertian sang pemilik kedai.

Tapi ..., tunggu.

Perasaan, sekilas tadi, wajah pemilik kedai yang Arabella lihat itu, kira-kira usianya kisaran awal atau pertengahan 30-an. Kenapa sekarang wajahnya jadi berubah menjadi om-om 40 tahunan? Apakah ia salah lihat?

"Bagaimana kalian bisa menemukan tempat ini?" todong pria itu sambil mengamati Arabella dan Alaric secara bergantian. Kumis tipisnya ikut bergerak-gerak naik turun seirama dengan pergerakan alisnya. Ia bersendekap. Namun, karena perutnya buncit, tangannya jadi tampak seolah-olah sedang bersandar di atas perutnya tersebut. "Apa kalian mendapatkan undanganku? Tapi, seingatku, aku tidak pernah mengundang kalian."

"Un ... undangan?" ulang Arabella tidak mengerti. Ia akhirnya segera mengesampingkan pikiran ngawurnya. "Tadi, kami sebenarnya hanya lewat. Tapi, ketika saya menguap sebentar, tiba-tiba kami sampai di tempat ini."

"Itu karena kamu lalai nggak lihat maps!" sergah Alaric arogan. "Coba kamu nggak meleng, kita nggak bakal kesasar di tempat aneh kayak gini."

Sontak Arabella segera menginjak kaki atasannya tersebut. Alaric mengaduh kesakitan. Suaranya yang melengking membuat Arabella berbisik, "Jangan bicara yang tidak-tidak, Pak. Bapak sudah meminum minuman orang lain tanpa izin. Seharusnya Bapak minta maaf terlebih dahulu. Kalau mau ribut sama saya, nanti, di luar. Sekarang, minta maaf dulu."

Alaric mengernyit sebal setelah Arabella melepaskan injakan kakinya. Ia melirik ke arah wanita itu sejenak, menghela napas, lantas kembali mengalihkan perhatian kepada pemilik kedai.

"Oke. Sebagai permohonan maaf, saya akan membayar minuman yang tadi sudah saya minum," ujar Alaric, masih dengan nada congkaknya. "Jadi, berapa yang harus saya bayar?"

Pria pemilik kedai itu menarik sebelah sudut bibirnya.

"Memangnya kamu tahu, minuman apa yang baru saja kamu habiskan itu?" balas pria itu.

"Hanya secangkir teh dengan aroma vanila yang manis." Alaric mengeluarkan dompet dari saku celananya. "Jadi, berapa? Tolong, jangan kebanyakan basa-basi. Kami sedang buru-buru."

"Pak ...," desis Arabella, berusaha menghentikan tingkah Alaric. Ia tahu betul, betapa sangat menyebalkannya bosnya itu. Tapi, kepada orang yang lebih tua, bisa, tidak, ia menahan dulu sejenak sikap menyebalkannya itu?

"Sembilan juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus rupiah." Pria pemilik kedai menyebutkan secara perlahan, nominal angka yang membuat Arabella dan Alaric mematung seketika. "Ditambah dua digit terakhir nomor HP pemesan."

AMORVENCY (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang