Disarankan untuk membaca perlahan. Ini adalah bagian dari alur kedua.
Sengaja, judulnya begitu。◕‿◕。
Ini hari pertamaku sekolah dan aku sudah tidak suka dengan Om Lukman-sopir keluargaku. Pria tua itu melajukan mobilnya dengan sangat pelan seperti siput. Aku sudah tidak tahan berada di dalam mobil dan ingin berlari keluar agar bisa segera sampai ke sekolah.
"Om, cepetin dong mobilnya! Bentar lagi telat, nih!"
Om Lukman hanya diam, tidak tahu harus menjawab apalagi. Aku sudah meneriakkan kalimat itu berkali-kali sejak mobil keluar dari gerbang rumah. Pasrah. Aku hanya bisa menggerak-gerakkan kakiku saat mobil yang kunaiki ini terjebak di barisan lampu lalu lintas. Paling belakang sendiri pula.
"Om, tinggal lima menit lagi! Masa anak baru nggak bisa masuk kelas," seruku dengan kesal.
Om Lukman meringis dengan raut muka bingung. Aku hanya asal menyebut lima menit. Aku belum tahu cara membaca jam di tanganku. Harusnya mama membelikan yang ada angkanya seperti di ponsel.
Tapi aku tahu, matahari sudah sangat tinggi untuk aku berangkat ke sekolah. Biasanya aku berangkat saat matahari masih dingin dan sejuk. Di sekolah lama, biasanya aku tidak pernah terlambat. Aku tidak mau terlambat.
"Ini masih lampu merah, Den," jawab Om Lukman agak pelan.
Aku memukul kursi kosong di sampingku. Ini tidak seru. Tiba-tiba mataku panas dan perih, bukan karena terkena debu. Setelah ini biasanya ada air yang akan keluar dari mataku turun sampai ke bibir. Rasanya asin, aku pernah menjilat sedikit. Sedikit enak seperti masakan mama. Tetapi kali ini tidak jadi menetes. Tidak boleh cengeng, kata papa.
Aku mencari-cari di mana letak lampu merahnya. Ada di sisi kiri dan sesaat kemudian warnanya berubah hijau. Hore!
Tapi Om Lukman tetap mengemudikan mobilnya dengan sangat hati-hati. Tidak hanya pria tua itu, mobil lainnya juga sama. Apakah mereka semua tidak takut terlambat ke sekolah?
"Lama bangettt. Klakson dong, Om. Biar mereka minggir." Aku menambahkan banyak huruf t karena memang sangat lama. Aku takut warna merah akan menyala lagi.
"Om, klakson!"
Kali ini Mbak Siti yang duduk di samping kemudi menjawab sambil menatap ke arahku, matanya sedikit menyipit-dia memang agak sipit.
"Sabar dulu ya, Den. Nggak boleh klakson kaya gitu. Pengendara itu harus sabar dan patuh sama lalu lintas. Nanti Mbak yang bilang sama ibu guru aden biar bisa masuk ke kelas, ya?"
Aku tidak suka Mbak Siti. Dia cerewet melebihi mama. Kalau mama memang lebih banyak diam. Apalagi kalau sedang bersama papa.
"Terserahlah," balasku sambil melipat tangan di depan dada. Merajuk. Berharap secara tiba-tiba mobil ini sudah sampai di parkiran sekolah.
"Bocah iki, dewe e sing telat tangi tapi nyalahke wong liyo terus* (Anak ini, sendirinya yang bangun telat tapi menyalahkan orang lain terus)." Mbak Siti berbicara dengan nada yang terdengar merajuk sepertiku.
"Meneng o wae, Sit. Ra usah kakehan protes. Bocah cilik iki* (Diam saja, Sit. Tidak usah kebanyakan protes. Anak kecil ini)."
Aku tidak paham apa yang mereka katakan. Mereka mengobrol dengan bahasa yang tidak aku mengerti. Kalau kata mama namanya bahasa daerah, sedangkan aku hanya paham bahasa kota. Dan bahasa negara lain seperti ayam faine dan gut marning.
Yang aku tahu, Om Lukman dan Mbak Siti berasal dari salah satu desa di Jawa Tengah. Jawa itu nama pulau, dan tengah artinya dia berada di antara kanan dan kiri. Aku tidak ingat di mana tempatnya. Yang pasti, bahasanya sangat berbeda dengan bahasa yang digunakan Oma berbicara.
Mobil ini akhirnya berhenti. Aku senang. Dan benar. Aku terlambat selama tiga menit, sepertinya. Semua anak-anak sudah berada di dalam kelas. Untungnya ibu guru membiarkanku masuk.
Sekali lagi, aku tidak suka Mbak Siti, dia mengatakan kepada ibu guru kalau aku menangis di rumah karena tidak mau sekolah. Aku mau sekolah. Tapi tidak mau terlambat. Ibu gurunya baik, dia cuma tersenyum dan menarik tanganku untuk masuk ke dalam kelas.
Aku mengangguk saat ibu guru menyebut namaku.
"Ayo masuk, kita kenalan sama teman-teman."
Setelah itu, Mbak Siti dan Om Lukman pergi. Walaupun mereka pasti akan kembali menjemputku di jam 11 nanti. Mbak Siti mengatakan banyak hal padaku tapi tidak aku dengarkan. Aku lebih tertarik pada suara-suara dari dalam kelas. Sangat ramai. Aku suka.
Ibu guru langsung membawaku ke dalam kelas. Aku tersenyum dan melambaikan tangan pada teman-teman baruku. Beberapa ada yang balas melambai dan secara bersama-sama menyapaku.
Tapi senyumku langsung lenyap saat hanya tersisa satu bangku kosong di belakang. Padahal aku mau duduk di depan.
Wajahku merengut, dan sepertinya ibu guru paham. Karena dia langsung menepuk rambutku dan berkata tidak apa-apa. Sebelum menyeretku untuk duduk di bangku yang tersisa.
Sempit.
Ini hari pertamaku. Aku duduk di bangku paling belakang dan teman semejaku memiliki badan yang sangat besar.
Geser sedikit, aku akan terjepit atau jatuh dari kursi.
"Ha-halo, a-aku R-ri-a an."
Aku mendelik kesal.
(12/01/2024)
Catatan penulis (boleh diabaikan)
Silakan bisa tebak siapa itu 'aku'
KAMU SEDANG MEMBACA
Gemintang di Langit Javas
Teen FictionON GOING Javas brengsek! Alih-alih patah hati, Gemi malah ingin meledak saat tahu kalau Javas memacarinya karena sebuah taruhan. Gemi bersumpah akan membuat perhitungan pada laki-laki bencong-tukang usil-mulut lemes yang kini menyandang status sebag...