Harus menjelaskan kepada Gemi mengenai pesan yang dikirimkan oleh Salsa dan menanyakan alasan kenapa Gemi meminta putus darinya. Seharusnya, poin tersebut adalah dua hal yang mudah kalau gadis itu tidak menghindari Javas secara terang-terangan.
"Setelah ini kalian bisa bergabung ke kelompoknya masing-masing dan mulai menyusun materi. Minggu depan harus dipraktikkan."
Peluang itu muncul di akhir mata pelajaran. Laki-laki itu menghela napas lega saat namanya secara kebetulan berada di kelompok yang sama dengan Gemi. Netra Javas melirik ke sebelah kanan. Berbeda dengan Javas yang lega, Gemi di sana terlihat memasang wajah cemberut. Veni di sampingnya terlihat menepuk-nepuk bahu gadis itu.
Meja dan kursi saling berderik. Kaki-kaki itu saling melangkah di atas lantai kelas yang licin. Javas menegakkan tubuh lalu bergabung ke dalam kelompoknya. Menggunakan dua meja yang disatukan, laki-laki itu duduk di satu dari enam kursi yang mengelilingi. Berjarak tiga kursi dari tempat Gemi memilih duduk. Jika bergeser ke kiri, maka Javas akan berseberangan langsung dengan Gemintang.
"Ini gue udah nulis materi, cuma masih tulisan tangan. Jadi belum gue salin ke dokumen. Ada yang mau mindahin tulisan ini ke laptop?" celetuk Eli yang duduk di salah satu sisi langsung membuka diskusi.
Ditimpali oleh Rani. "Minimal tanyain dulu kali, di sini ada yang bawa laptop nggak?"
"Oh iya, ada yang bawa nggak?"
"Gue bawa, biar gue sekalian yang ngetik." Kali ini usul suara berasal dari seseorang yang sejak tadi mencuri perhatian Javas.
Sebenarnya seperti yang laki-laki itu duga. Sejak mendaratkan bokong di sana, alih-alih balik melirik Javas, Gemi bahkan terlihat tidak menaruh atensi akan keberadaannya. Rasanya sangat aneh. Javas seringkali merecoki Gemi setiap kesempatan, tetapi kini mereka bersikap layaknya orang asing.
"Oh iya, Moy. Ini mau nulis sendiri apa didikte?" Eli kembali menanyakan sambil mengulurkan catatannya pada Gemi. "Eh, dikte ajalah ya! Biar cepat selesai. Ada yang mau diktekan nggak?"
Kalau diimajinasikan, di atas kepala Javas sekarang sudah terbentuk lampu bohlam yang menyala terang. Mungkin ini kesempatannya. Dengan sedikit ragu, Javas berdeham lalu mengangkat tangan. Mencuri atensi semua orang yang ada di meja tersebut, termasuk Gemintang.
"Gue aja yang dikte, gimana El?" celetuk Javas dengan canggung.
Dan sepertinya sejak awal memang tak hanya dirinya yang merasakan kecanggungan itu.
"Eh, gapapa, nih?" Gadis berkacamata itu terlihat bingung.
"Gapapalah, daripada gue nggak kerja, kan?" serbu Javas sambil melirik pada Gemi sekilas. Mencoba tidak terlalu memikirkan saat gadis itu lebih tertarik pada buku catatan milik Eli seakan ucapan Javas tidak memengaruhinya.
Eli menggaruk dahinya gatal. Terlihat kentara, bukan? Javas tidak salah lihat kalau gadis itu mengalihkan tatapannya pada Gemi selama dua detik sebelum kembali menatap ke arah Javas dengan raut kikuk.
"O-Oh iya, sih. L-lo duduk sini aja biar enak diktenya, Jav," ucap gadis itu menawarkan kursinya yang berada tepat di sisi Gemi.
"Yang lain tolong cari beberapa poin dari gue, ya. Gue kemarin belom sempat nambahin materinya .... "
Javas berdeham, menghampiri gadis rambut dengan cepol kecil dan poni di depan yang sejak tadi bersikap sangat dingin. Javas sudah sadar jika ada yang salah, karena Gemi memang memperlakukannya berbeda dari yang lain. Tatapannya tidak pernah lagi terpaku pada Javas barang tiga detik. Rautnya sangat datar dan tertekuk.
"Pengertian-"
Gemi menyela. "Bentar, masih loading."
Javas sendiri yang meminta ini, kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Gemintang di Langit Javas
Roman pour AdolescentsON GOING Javas brengsek! Alih-alih patah hati, Gemi malah ingin meledak saat tahu kalau Javas memacarinya karena sebuah taruhan. Gemi bersumpah akan membuat perhitungan pada laki-laki bencong-tukang usil-mulut lemes yang kini menyandang status sebag...