Kerlip 2a : dia yang dipermainkan

72 24 46
                                    

"Bu, apa aku diet aja, ya?" celetuk Gemi tiba-tiba.

Dian sedang mencuci peralatan bekas memasak saat Gemi menyeletuk. Tanpa menoleh pada putrinya, Dian menjawab pertanyaan itu dengan enteng. Perkara diet bukan hal yang sekali dia kali Gemi singgung. Dan untuk pelaksanaannya masih di bawah bayang-bayang alias belum terlaksana.

"Ya, silakan kalau mau diet. Hari ini kamu ngomong diet, besok paling pura-pura lupa kalau lagi diet."

Mendengar jawaban ibunya yang disertai ledekan terselubung, Gemi mendesah sebal. "Lah, Ibu! Serius. Kayaknya Gemi mau diet, biar nggak dikatain terus di sekolah."

Kali ini Dian menoleh. "Ada yang ngatain kamu di sekolah?"

Wanita itu menghentikan pekerjaannya lalu bergerak duduk di samping putrinya.

"Ya, biasalah, Bu. Gemi gendut, Gemi ini, Gemi itu. Gemi sebenarnya udah biasa, dari kecil 'kan sering dibilang gendut sama pakde bude. Aku dari dulu rasanya biasa aja loh, Bu. Karena memang ini tubuh Gemi, aku juga sadar kalau gendut. Nggak perlu pembelaan lagi," jelas Gemi panjang.

"Tapi?"

Gemi mengembuskan napas lelah. "Tapi makin lama makin nggak nyaman dibilang kaya gitu. Gemi pengin kurus biar nggak jadi perhatian terus."

"Mbak, dengerin Ibu. Kalau kamu mau diet itu bagus. Terakhir kamu timbang berat kamu berapa? Melebihi standar, kan?" Gemi mengangguk mengiyakan. "Kalau kamu diet biar sehat, Ibu bakal dukung. Tapi kalau kamu diet cuma buat nyiksa diri, biar jadi langsing. Ibu nggak izinin, " jelas Dian menatap tegas pada putri semata wayangnya.

Gemi terdiam tak membalas.

"Kamu lagi suka sama cowo, ya?" sergah Dian penuh selidik.

Gemi yang tak siap dengan pertanyaan itu, gelagapan. "Hah? K-kok Ibu nanya gitu?"

Dian yang menangkap reaksi gugup tersebut hanya mengulum senyum senang. Layaknya seseorang yang berhasil menebak nomor togel dalam sekali coba.

"Biasanya anak cewe itu mau berubah kalau suka sama cowo. Cowo yang kamu taksir nggak suka cewe gendut?" tebak Dian mengira-ngira permasalahan yang menganggu anak gadisnya.

Gemi terdiam cukup lama. Untuk pertanyaan itu, dia tidak tahu. Javas 'kan memacarinya karena taruhan. Gemi lalu membuang napas kasar yang mungkin sudah kesekian kali dia lakukan selama kurang dari enam jam.

"Enggaa, Ibuuu. Gemi cuma mau berubah aja," elak gadis itu sedikit berbohong.

Dian paham Gemi tidak bisa dipaksa mengaku, jadi dia hanya tersenyum maklum dan mengelus kepala Gemi dengan penuh perhatian. "Berubah buat diri kamu sendiri ya, Mbak. Klo itu Ibu dukung penuh."

。◕‿◕。

Javas tidak langsung membalas pesan terakhir yang Gemi kirimkan. Menunggu sampai lima belas menit, dia akhirnya menyerah memandangi ponsel. Gadis itu kemudian memilih untuk beristirahat di kamar sambil membawa beberapa camilan. Baru saja Gemi mendaratkan bokongnya di kasur, suara notifikasi terdengar menandakan balasan dari Javas masuk ke ponselnya.

Javas Nagendra
Okeee
I deserve a better person

Napas gadis itu tertahan dan rasa panas merambat naik ke otaknya. Darahnya langsung mendidih dan terpompa ke seluruh tubuh. Sentil Gemi kalau gadis itu salah lihat. Huruf e di kata oke yang berjumlah tiga seperti menandakan laki-laki itu senang menerima putusnya hubungan mereka, kan? Seakan kabar Gemi yang meminta putus adalah keberkahan yang selama ini Javas tunggu.

Gemi tertawa sinis. Deserve a better person, dia bilang?

Segala umpatan secara instan bercokol di benaknya. Javas memang definisi dari laki-laki bajingan. Jari Gemi secara cepat langsung bergerak memblokir nomor laki-laki itu lalu mengarsipkan kolom percakapan mereka. Sial. Alih-alih lega, Gemi merasa sesak yang panas di saat yang bersamaan.

Gemintang di Langit JavasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang