Selamat membaca para bocil kematian di sini
。◕‿◕。
"Adek mau permen?"
AKU TIDAK MAU.
Aku melemparkan permen yang diulurkan oleh ibu guru. Lalu menangis tambah keras.
Ini gara-gara Mbak Siti yang lupa tidak membawakan kotak bekal untukku. Padahal teman-temanku membawanya. Semua. Hal itu yang membuatku menangis sejak tadi.
Aku tidak lapar.
Aku juga tidak mau permen.
Aku hanya tidak suka saat teman-temanku membawa bekal. Hanya aku yang tidak membawa. Di saat yang lain membuka bekalnya, aku hanya diam memerhatikan mereka.
Aku bingung harus apa di jam istirahat. Rasanya tidak nyaman. Apalagi saat aku hanya bisa melirik mereka semua yang asyik bertukar makanan. Aku tidak bisa melakukannya karena aku tidak punya makanan. Teman-teman yang lain juga seperti tidak tertarik mendekatiku karena aku duduk di belakang. Ditambah aku tidak punya makanan.
Pilihanku hanya menangis.
Maka aku menangis sekarang.
Untuk menarik perhatian ibu guru yang sedang membantu anak lain membuka bekal.
Aku benci Mbak Siti!
Aku benci teman-temanku yang membawa bekal semua!
Aku benci ibu guru yang menanyakan kenapa aku menangis!
Aku benci karena aku menangis semakin keras karenanya.
"Nggak apa-apa, Adek. Udah nangisnya, ya? Coba bilang ke ibu, adek kenapa?"
Ibu guru masih mengusap pelan kepalaku dengan sayang. Seperti Mbak S-aku tidak mau sebut namanya lagi- yang mengusap rambutku ketika aku menangis karena jatuh dari tangga. Tapi sekarang aku tidak sedang jatuh. Aku menangis karena kesal.
Aku memakai lenganku untuk menutupi mataku yang banyak sekali mengeluarkan air. Aku semakin kesal saat anak gendut yang duduk di sampingku malah memberikan bekalnya padaku.
"K-ka mu ma-ma u i ini?"
Sesak.
Aku tidak bisa bernapas.
Suaraku sudah serak karena berteriak dan menangis sejak tadi. Mataku juga panas. Cairan kental yang kata Mbak S-aku tidak mau sebut namanya- disebut ingus seperti mengalir dari hidungku.
Ibu guru cukup berbaik hati mengusap ingusku yang berwarna bening itu. Warnanya berbeda, tidak seperti ingus berwarna kuning yang muncul ketika aku sakit.
Untung saja ingus itu tidak jadi masuk ke mulut. Kata papa jorok. Rasanya juga asin seperti air mata. Oh! Sekarang aku juga menyicipi rasa air mata-papa belum pernah mengatakan jorok kalau aku menjilati air mata. Sekarang aku menjilatnya sedikit. Masih asin.
"Adek nggak bawa bekal, ya?" tanya ibu guru yang sudah berjongkok di sebelahku.
Ditanya seperti itu, aku kembali teringat. Aku tidak jadi menjilat air mataku, menangis lalu meraung lebih keras dari sebelumnya.
Kulihat teman sebangkuku yang gendut itu semakin menarik kursinya menjauh, semakin menempel pada tembok. Ibu guru masih sabar mengelus rambutku.
"Wah, bekal punya Rian sepertinya enak. Rian buat sendiri, ya?" tanya ibu guru kepada Rian-teman sebangkuku.
"Ta-tadi be-beli di te-tem-"
Aku menangis sebal, jengkel karena teman sebangkuku tidak bisa bicara dengan benar.
"Eh cup cup cup," ucap ibu guru menenangkanku lagi.
"Oh, Rian tadi beli? Dikasih ke temannya sedikit, boleh? Berbagi, ya, dia lupa nggak bawa bekal."
Aku ikut melirik pada Rian. Rian sekarang sedang menunduk, entah mencari apa. Jari tangannya yang besar membuka lalu bergerak-gerak seperti menghitung sesuatu. Anak gendut itu kemudian menoleh pada ibu guru, berucap dengan nada tidak jelasnya. Aku bingung, kenapa dia tidak bisa berbicara dengan normal?
"D-dua ri-ri bu, Bu."
Dedua apa? Dua ribu? Apanya yang dua ribu? Aku tidak paham. Tapi sepertinya ibu guru paham apa yang dikatakan anak besar itu karena dia langsung mengangguk pada Rian.
"Oh iya, dua ribu. Nanti ibu ganti ya, Rian." Apanya yang diganti? "Ibu boleh minta satu?"
Rian mengangguk, mengambil makanan yang ada di kotak bekalnya. Lau mengulurkan tangannya bingung. Tangan itu seperti terulur ke arahku tapi matanya juga melirik ke arah ibu guru.
Aku hanya diam sesegukan dan mengusap sisa air mataku. Karena aku diam saja. Ibu guru yang mengambil makanan itu dan memberikan benda itu kepadaku.
"Adek makan ini saja, ya. Ini dikasih sama Rian, loh. Jadi harus bilang apa?"
Ini untukku? Makanan ini?
Dengan sedikit ragu aku memasukkan makanan itu ke dalam mulutku. Rasanya seperti roti, lembut dan ada aroma wanginya sedikit. Bentuknya seperti bulan sabit dan ada taburan sesuatu yang berwarna cokelat di atasnya. Seperti kotoran cicak yang sangat banyak? Tapi bukan kotoran cicak, karena tidak ada warna putihnya. Aku lupa namanya apa.
Habis. Ternyata rasanya enak.
Aku tidak sadar kapan ibu guru pergi dari sampingku. Makanan yang berbentuk seperti bulan itu sangat enak. Aku mau lagi. Melirik bekal milik Rian, aku melihat masih tersisa beberapa potong roti itu.
"Mau lagi."
Rian yang sedang mengunyah makanannya langsung melirikku takut-takut sambil tetap menunduk. Aku tidak tahu kenapa dia selalu takut. Dengan tangan gemetar, Rian mengulurkan kotak bekalnya kepadaku.
"Du-dua ribu, y-ya," ucap Rian saat aku mengambil kembali dua potong.
"Iya," jawabku cepat.
Aku memakannya dengan lahap.
Ini sangat enak.
Besok aku minta Mbak Siti untuk membelikannya lagi lebih banyak. Tapiiii aku benci Mbak S-aku lupa harusnya tidak menyebut namanya lagi. Terus bagaimana caranya bilang sama Mbak S, ya?
"Jadinya em-empat ribu, ya," ucap Rian kepadaku.
Berisik.
Aku meliriknya sebal lalu memukul meja karena Rian mengganggu waktu makanku. Sakit.
Rian langsung diam dan menciut takut ke sisi tembok.
。◕‿◕。
Catatan
Jujur nulis pov bocil susah sekali:(Ini makanan yang dikasih eh 'dijual' sama Rian
Cr: pinterest
(23/01/2024)
KAMU SEDANG MEMBACA
Gemintang di Langit Javas
Roman pour AdolescentsON GOING Javas brengsek! Alih-alih patah hati, Gemi malah ingin meledak saat tahu kalau Javas memacarinya karena sebuah taruhan. Gemi bersumpah akan membuat perhitungan pada laki-laki bencong-tukang usil-mulut lemes yang kini menyandang status sebag...