Sesuai janjiku, akan ada yang baru di short story ini. Kali ini aku mau ambil sudut pandang Sarah, anak Papa Ganda yang cantik banget kayak boneka. Semoga short update ini bisa menghibur teman-teman.
Happy reading
*
*
*Umurku empat tahun saat aku pertama kali bertemu dengannya. Kalau ditanya apa aku ingat bagaimana pertemuan kami pertama kali, maka aku dengan tegas akan menjawab tidak. Tiba-tiba saja hadir seorang wanita cantik bernama Hera yang memintaku memanggilnya Ibun-panggilan untuk seorang ibu- dan tinggal bersama Papa di rumah.
Aku tahu Papa dan Mommy tidak bisa bersama lagi dan hak asuh anak dimenangkan oleh Mommy. Tetapi paling tidak sebulan sekali aku akan menginap di rumah Papa sampai akhirnya Ibun melahirkan seorang bayi perempuan lucu bernama Sophia-adikku. Aku merengek pada Papa, meminta untuk tinggal bersama mereka karena aku tak mau jauh dari Sophia. Walaupun masih kecil, aku tahu butuh diskusi dan pertimbangan yang memakan waktu lama untuk akhirnya Mommy setuju dengan permintaanku karena Sophia sudah berjalan baru aku menetap sepenuhnya bersama Papa.
Mungkin beberapa orang yang bertemu pertama kali denganku dan mengetahui kondisi keluargaku akan menatapku dengan wajah prihatin seakan-akan aku adalah gadis paling malang di dunia. Seakan-akan hidupku menderita karena harus terbang Kuala Lumpur-Kinabalu setiap ingin bertemu orang tuaku. Seakan-akan perceraian Papa dan Mommy mengurangi kualitas dan kuantitas kasih sayang yang kudapat dari mereka. Ditambah dengan Papa yang sudah menikah lagi dan Mommy yang juga sudah berumah tangga dengan sahabat kecilnya tiga tahun setelah Sophia lahir, orang-orang memproyeksikanku sebagai Another Cinderella abad 21.
Kenyataannya hidupku sempurna. Orang tua kandungku menyayangiku sepenuh hati, Ibun dan Daddy-panggilanku untuk suami baru Mommy-juga menunjukkan rasa cinta mereka padaku tanpa malu-malu. Aku punya dua rumah yang siap menerimaku apa adanya. Ditambah kini aku punya Sophia. Apa lagi yang harus kuminta?
Tak semua orang seberuntung diriku memang. Tapi bukan salahku jika punya hidup menyenangkan dengan kondisi yang tidak ideal di mata orang-orang. Itu sebabnya saat mendapati wajah iba atau nasihat-nasihat dari orang lain, aku hanya membalas mereka dengan anggukan tanpa pembelaan lebih lanjut. Tidak ada gunanya karena kebanyakan orang memilih mempercayai apa yang mereka mau percaya. Lagian mengubah cara pandang orang terhadapku bukan tugasku. Tugasku cuma menjadi sulung yang baik di rumah agar tak mengecewakan orang-orang yang sayang padaku dengan tulus.
Jika orang-orang bersikukuh menganggapku Cinderella, maka dapat kupastikan kisah hidupku bukan typical cinderella's story. Kalau Cinderella pada umumnya tak dekat dengan ibu tiri mereka, yang terjadi padaku 180 derajat bedanya. Cinderella pada umumnya sering menangis karena perlakuan kejam ibu tirinya. Di kasusku, justru ibu tiriku yang sering menangis karena...entah lah. Ibun sering menangis karena hal-hal kecil. Justru seringnya aku yang di posisi yang menenangkannya.
Seperti yang terjadi sekarang. Ibun menangis hanya karena aku mengaku aku sudah punya pacar. Apa yang harus ditangisi dari seorang mahasiswi semester empat yang memiliki pacar?
"I don't think these tears are necessary," kataku sambil menggenggam tangan kanan Ibun erat. Tangan kiri Ibun dipakainya untuk menghapus air mata yang tak kunjung berhenti.
"Ibun sedih. Kak Sarah ternyata udah besar," balas Ibun masih terisak. "Kenapa sih kamu cepet banget gedenya? Ibun takut pisah dari kamu. Papamu juga udah makin tua. Sophia juga udah SMP. Semua makin tua."
Keningku berkerut bingung mendengar rengekan Ibun. "Getting old is an inevitable part of being a human, Ibun. We're not eternal."
"Abis punya pacar pasti kamu nikah," rengek Ibun lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Barrier
Short Story"Setiap kali Bapak merasa dunia nggak berpihak pada Bapak, ingat putri cantik Bapak. Dia butuh ayah yang tegar, bukan yang cengeng dan cuma bisa protes pada takdir. Dan, Bapak harus ingat satu hal. Hanya karena Bu Kenny tidak mencintai Bapak lagi da...