Kepalanya pusing. Tubuhnya kelelahan karena sibuk mengurus kegiatan 17 Agustus di kantor kedutaan. Acara harus berlangsung meriah dan sukses, itu permintaan para petinggi. Ganda yang terpilih sebagai ketua panitia mau tak mau harus mengorbankan banyak waktu istirahatnya selama seminggu untuk persiapan acara.
Percaya pada Ganda, kantor kedutaan itu paling sibuk kalau sudah tujuh belas agustusan. Tidak ada waktu berleha-leha dan akan sulit meminta cuti.
Selama acara berlangsung, tubuhnya baik-baik saja. Dia bahkan masih bisa mengikuti perlombaan balap karung bersama dengan pegawai-pegawai lain. Entah karena usia atau sistem imun dia sedang tidak baik, dia tumbang keesokan harinya.
Ganda meringis. Jika saja Kenny dan Sarah masih disini, mungkin tubuhnya akan cepat pulih. Kenny akan menyiapkan teh madu untuknya. Sarah akan memijit punggungnya walaupun pijitan putri cantiknya tidak terasa di tubuh besarnya ini.
Maka, dengan langkah tertatih, dia beranjak menuju dapur untuk mengambil segelas air dan sepotong roti. Papa mereka bilang, laki-laki itu tidak boleh lemah, harus melawan sakit yang diderita.
Ponselnya berdering. Ganda mengambil perangkat elektronik yang sedang dia charge itu, lalu menggeser layar.
"Sudah sampai di airport?"
"Sudah dekat banget dari rumah. Sakit, ya? Suaramu aneh."
"Kecapekan."
"Mau kubelikan makanan? Kami bisa singgah sebentar."
"Nggak perlu. Sudah dulu, ya. Pintu depan nggak kukunci. Entar langsung masuk aja. Bye."
Saudara kembarnya memang sedang melakukan perjalanan bisnis ke Kuala Lumpur. Katanya sih ada meeting dengan salah satu investor yang juga teman sekolahnya. Ganda tidak terlalu mau ikut campur soal pekerjaan Gandi. Dunia arsitektur dan konstruksi cukup rumit. Penuh intrik dan kesalahan non teknis.
Yang membuat Ganda harus menahan sabar adalah, Gandi memilih menginap di rumahnya daripada menyewa hotel.
Kayak kekurangan uang saja, kan?
Demi Tuhan, Gandi juga membawa PA nya yang sangat berisik itu.
Sudahlah. Lebih baik dia tidur.
Setelah mengunyah roti yang terasa hambar di lidahnya, Ganda menarik selimut dan mencoba kembali tidur. Dia yakin dia cuma butuh tidur lebih lama untuk kembali pulih seperti biasanya.
Matanya memang terpejam, namun telinganya dapat menangkap suara pintu depan yang terbuka dan derik koper. Bisa Ganda pastikan koper tersebut bukanlah milih Gandi karena selama ini jika dia ke Kuala Lumpur, dia hanya akan membawa ransel atau travel bag.
Pakaiannya menumpuk di salah satu sudut lemari Ganda. Katanya biar nggak repot kalau main-main kesini.
Giliran pintu kamarnya yang terbuka. Gandi menghampirinya. Keningnya sedikit berkerut. Ditempelkannya punggung tangan ke kening dahi Ganda.
"Panas banget, Bro. Nggak ke dokter?" Gandi duduk di sisi sebelah kanan tempat tidur Ganda.
Dia menggeleng. "Kurang tidur aja nih. Kalian sudah makan? Telfon restoran langgananku saja. Cuma ada bahan-bahan mentah di dapur."
"Santai aja. Ada si Hera tuh. Kita minta masakin sup juga dia mau. Lumayan kok masakannya. Aku pernah nyoba."
Ganda langsung menggeleng. Kenapa harus merepotkan orang lain untuk perutnya sendiri. Dia tidak mau. "Nggak perlu. Tadi udah makan roti. Mau langsung istirahat? Kamarnya udah kusiapin. Seadanya, ya. PA kamu pakai kamar yang di atas aja."

KAMU SEDANG MEMBACA
No Barrier
Historia Corta"Setiap kali Bapak merasa dunia nggak berpihak pada Bapak, ingat putri cantik Bapak. Dia butuh ayah yang tegar, bukan yang cengeng dan cuma bisa protes pada takdir. Dan, Bapak harus ingat satu hal. Hanya karena Bu Kenny tidak mencintai Bapak lagi da...