5. Confession

32.3K 5.8K 669
                                        

Mungkin sekarang, ujung gaun yang dikenakan Hera sudah lecek dan tak berbentuk. Bagaimana tidak, sejak tadi kedua tangannya meremas pakaian itu demi menghilangkan rasa gugup yang melanda.

Kepalanya tak berani dia gerakkan. Sejak tadi, matanya berpura-pura sibuk dengan jalanan di samping kirinya. Padahal tidak ada yang menarik disana. Hanya beberapa orang yang menunggu bus di halte, pedagang asongan yang lelah dan butuh rehat sejenak, serta pejalan kaki yang berlalu lalang.

Pengemudi sedan BMW di sebelahnya pun sejak tadi tidak mengeluarkan suara. Sebenarnya Hera penasaran setengah mati, tapi semua dia tahan demi harga diri dan menutupi rasa gugup.

Begitu acara ulang tahun Ajeng selesai, Ganda langsung menarik tangan Hera keluar dari pekarangan rumah dan mendorongnya untuk masuk ke dalam mobil Gandi.

Dia tidak memedulikan tatapan menyelidik kembaran serta adik iparnya. Dia akan menceritakannya nanti. Yang terpenting sekarang, dia butuh tahu jawaban Hera.

Ganda tidak mau kembali ke Kuala Lumpur dengan perasaan menggantung. Banyak keputusan yang akan diambilnya setelah kepulangannya ke negara tetangga. Namun semua bisa dia wujudkan setelah berbicara dengan gadis kecil ini.

Sejak tadi, hanya suara GPS ponsel yang menemani mereka. Belok kanan, belok kiri, lurus, putar balik. Ganda mengikuti semua arahan hingga mobilnya berhenti di depan sebuah perumahan kecil.

Tidak semegah kompleks perumahan Gandi di Kelapa Gading. Tidak juga sebesar perumahan mereka di Medan. Mungkin hanya terdapat dua puluh unit rumah di dalam kompleks ini. Tapi Ganda yakin, suasana di perumahan ini hangat. Hera tinggal di tempat yang tepat. Ganda menyukai kenyataan itu.

"Rumahnya yang mana?" Ganda akhirnya membuka suara.

Hera menoleh padanya, lalu menjawab, "yang paling ujung, Pak. Pagar hitam."

Ganda menggerakkan kembali mobil kembarannya mengikuti petunjuk Hera. Dia langsung melepas sabuk pengaman begitu menghentikan mobil tepat di depan rumah Hera.

Hera menelan ludah. Matanya terpejam sesaat, berusaha menenangkan debar jantung yang sejak tadi tidak terkendali.

Calm down, Hera. Tunggu apa yang Ganda mau katakan, bisik suara di kepala Hera.

Tanpa membuang waktu, Ganda menggenggam kedua tangan Hera, menatapnya dengan tatapan teduh dan lembut. Tak lupa seulas senyum terbit di wajah tampannya.

Mata Hera mengerjap-ngerjap. Ini di luar dugaannya. Dia tidak menyangka Ganda bisa bersikap semanis ini mengingat pertemuan mereka dulunya yang lebih sering dilewati dengan pertengkaran satu sama lain.

"Saya tahu kamu pasti syok dengan perlakuan saya yang tiba-tiba ini," Ganda memulai. "Tapi saya tidak bisa lagi menahannya. Kamu muncul terus di pikiran saya. Sedikit mengganggu, tapi lebih banyak senangnya. Setiap mengingat tingkah aneh kamu, saya malah senyum-senyum sendiri. Hati saya ikutan menghangat. Aneh rasanya, padahal dulu saya kesal setiap mendengar suara kamu."

Berulang kali Hera menelan ludah. Hanya itu hal terlogis yang bisa dia lakukan saat ini.

"I've been through the hard time, splitting with Kenny and lost my custody of Sarah. Saya kira, setelah semuanya, saya cuma perlu melanjutkan hidup dengan menjalankan rutinitas dan kewajiban seperti biasa. Tidak ada rasa. Semua hambar sampai akhirnya saya bertemu dengan kamu," lanjut Ganda.

Mata Hera panas, tapi dia berusaha untuk menahannya. Banyak yang harus dia dengar dari pria beranak satu di hadapannya ini. Dan dia tidak mau merusaknya hanya karena air mata yang tiba-tiba jatuh.

"Kamu membuat saya mengeluarkan emosi yang selama beberapa tahun ini saya sembunyikan. Dengan kamu, saya bisa kesal dan marah. Dua hal yang hampir tidak pernah saya tunjukkan setelah bercerai. Saat kamu merawat saya yang sedang sakit, disitu saya merasa, kamu adalah perempuan yang baik. Tidak seharusnya saya memperlakukan kamu semenjengkelkan itu. Pertemanan kita berlanjut. Dan asal kamu tahu, saya selalu menanti pesan whatsapp dari kamu. Setiap hari."

No BarrierTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang