"Kamu Hera? PA-nya Gandi?"
Hera yang wajahnya masih setengah mengantuk itu menganggukkan kepala begitu pria yang wajahnya sangat mirip dengan sang bos muncul di hadapannya.
Mirip bener, euy. Cuma yang ini pake kacamata dan kulit wajahnya sedikit aja lebih pucat. Mungkin kalau si Bos dulunya pemain basket yang terkenal seantero sekolah, kembarannya ini juara olimpiade tingkat internasional.
"Pak Ganda, kan?" Hera mengulurkan tangan.
Ganda menyambut uluran tangan tersebut singkat. "Dimana mobil kamu?" tanyanya sambil mulai berjalan.
Hera langsung menarik tangan laki-laki berwajah tidak kalah mengantuk yang berdiri di sebelahnya. "Fer, ayo cepetan. Kayaknya kembaran bos gue rada galak."
Fero adalah tetangga Hera, mahasiswa abadi di kampus, yang selalu dijadikan Hera supir jika dia sedang malas menyetir. Mereka berdua memang akrab sejak lama.
Hera menyamai langkah kaki kembaran bosnya dengan terengah-engah. Bukan apa-apa, tingginya cuma 157 cm, cukup jauh dibandingkan dengan pria dingin di sebelahnya.
"Mobilnya disana, Pak," Hera menunjuk sebuah Agya putih yang bodinya penuh lumpur.
Kening Ganda berkerut. Mobil seorang personal assistant sekotor itu? Yakin Gandi tidak salah pilih pegawai?
Namun tentu saja Ganda tidak mengutarakan apa yang ada di kepalanya.
Ganda juga baru menyadari kehadiran seorang anak muda yang rambutnya cukup panjang dan memakai celana kargo itu. "Dia siapa?"
Hera menggaruk-garuk kepalanya. "Oh. Ini Fero, Pak. Yang punya mobil ini. Teman saya. Tadi di rumah saya nggak ada mobil. Dipake sama Ayah, jad—"
Ganda mengangkat tangan, meminta gadis tersebut menutup mulut. "Tolong segera buka pintunya."
Fero menekan tombol pada kunci mobilnya, memasukkan koper Ganda ke bagasi, lalu masuk ke balik kemudi. Ganda membuka pintu belakang dan menghela nafas saat mendapati kondisi backseat yang berantakan.
Hera cengengesan melihat wajah masam Ganda. Dia menggeser perlengkapan futsal Fero ke sisi kanan. "Maaf ya, Pak. Abis Pak Gandi tiba-tiba minta saya untuk jemput Bapak. Padahal kan saya lagi non job dan mode ngambek ke si Bos. Nggak ada persiapan apa-apa. Untungnya tadi masih sem—"
Lagi, Ganda mengangkat tangan. Kepalanya pusing mendengar celotehan gadis yang lebih cocok jadi anak SMA daripada seorang personal assistant ini.
Dengan sigap, Hera berputar menuju pintu depan. Kantuknya sudah hilang. Wajah masam Ganda membuat Hera ketakutan.
Dia takut Ganda melaporkan ketidakbecusan Hera pada bosnya. Alamat jadi pengangguran dong dia. Padahal dia sudah nyaman bekerja pada Gandi.
"Bapak diantar ke rumah Bu Indri, ke rumah sakit, atau ke hotel tempat Pak Gandi menginap?" tanya Hera hati-hati.
"Gandi bilangnya gimana? Itu anak nggak becus deh jadi host. Dihubungi nomornya juga nggak aktif."
"Pak Gandi kayaknya lagi sama Bu Ajeng, Pak. Maklum deh. Lagi CLBK. Sampai batalin proyek di Manchester. Batal juga bikin biro di Singapore," Hera mulai merengek, lalu mengerucutkan bibir, menoleh pada temannya. "Sedih banget gue, Fer. Gagal kerja di Inggris dan SG. Mandek di Jakarta lagi. Padahal gue udah cerita ke anak-anak kalau gue bakal jadi eng—"
"Bisa tolong sedikit tenang? Saya sedang menelepon abang saya," Ganda menunjuk ponselnya.
Hera mengunci mulut, merutuki kebodohannya yang bicara sesuka hati pada saudara kembar bosnya.
"Halo, Bang? Waalaikumsalam. Abang dimana sekarang?...Si Gandi nggak bisa dihubungi. Aku sudah di Jakarta, nih. Malesin tuh anak...Oh, gitu? Oke deh. Aku kesana aja...PA-nya Gandi. Sudah dulu, ya."
Hera memutar kepala ke belakang. Dengan takut-takut dia bertanya, "diantar ke—"
"Ke rumah Iin, ya."
"Siap Baginda Raja," jawab Hera pelan.
Fero terkikik. Ganda menggeleng-gelengkan kepala.
Jakarta. Entah benar atau tidak keputusannya untuk menjauh sejenak dari hal-hal yang membuat kepalanya pusing dan tidurnya tidak nyenyak.
Bagaimana kabar Sarah, ya?
Ganda membuka aplikasi whatsapp, mengirimkan foto jalanan Jakarta pada sang mantan istri.
To : Sarah's Mommy
Morning. Is Sarah awake yet? I'm in Jkt now. Gandi is abt 2 propose his gfriend. Miss u n Sarah so muchSatu menit. Lima menit. Sepuluh menit. Tiga puluh menit. Pesannya belum juga dibalas.
Ganda meringis. Selalu seperti ini. Dia berani bertaruh Kenny baru akan membalas pesannya dua belas jam kemudian.
"Bapak sudah sarapan? Mau makan apa? Nasi uduk, bubur, sandwich, french—"
"Langsung saja ke rumah Iin. Terima kasih."
Asisten Gandi benar-benar berisik. Bagian darimananya yang disebut kompeten?
Hera mengelus-elus dadanya. Sabar. Orang sabar disayang Tuhan. Walaupun identik, sifat tetap saja bisa berubah jauh.
Marcell dan Mischa Candrawinata aja sifatnya beda jauh.
"Ra, colokin USB gue ke audio dong. Biar nggak ngantuk," pinta Fero.
Hera menuruti permintaan temannya. Suara band rock yang bikin gendang telinga pecah menggema di dalam mobil. Hera langsung mematikannya.
"Eh, anu, maaf, Pak. Kami nggak sengaja. Saya nggak tahu kal—"
"Suara kamu juga nggak kalah berisik dari dia. Jadi sebaiknya kamu juga mengunci mulut saja."
Kalau bukan karena Gandi baru aja memberikan dia tas Ted Baker, mungkin kini kotak tisu yang ada di mobil Fero sudah berpindah ke kepala kembaran bosnya.
Dasar si bos tukang boong. Katanya kembaran dia asik, suka becanda, ramah pada orang-orang.
Yang ada malah bapak-bapak songong, sok misterius padahal malesin, dan antipati sama anak-anak muda seperti Hera dan Fero.
Sudahlah. Yang muda mengalah saja. Toh cuma ketemu kali ini saja, kok.
***
Cerita ini akhirnya di-publish kembali. I'm so happy hahahahahaha.
Thankyou for reading
See you on the next chapter
KAMU SEDANG MEMBACA
No Barrier
Short Story"Setiap kali Bapak merasa dunia nggak berpihak pada Bapak, ingat putri cantik Bapak. Dia butuh ayah yang tegar, bukan yang cengeng dan cuma bisa protes pada takdir. Dan, Bapak harus ingat satu hal. Hanya karena Bu Kenny tidak mencintai Bapak lagi da...