Bagi kalian yang udah baca cerita Luciel: Blooms Repeatedly bisa langsung cuss baca kisah si Malaikat Kematian, Samael! Kalau belum baca cerita Luciel, boleh kalian baca dulu karena kisahnya gak kalah seru!
Saya harap kalian bisa selalu mendukung saya dan karya saya, jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya🐣
SELAMAT MEMBACA
Apa yang bisa dilihat setiap harinya selain kematian? Dalam sedetik, jutaan kematian dan kehidupan muncul dalam pandangan Samael.
Ruh-ruh menyerupai kepulan asap sebesar kepalan orang dewasa dan memiliki cahaya samar tampak berterbangan di alam kematian, Morshala. Penyiksaan dari segala amal buruk yang telah dilkukan semasa hidup dibayar setelah mereka melewati gerbang akhirat serta melalui serangkaian tahap setelah mati. Oleh karena itu, jerit-jerit penyiksaan bergaung dan menimbulkan kebisingan di Morshala. Samael tidak terusik justru berdiri di atas perahu, menyusuri rawa hitam seolah jerit keputusasaan adalah simfoni sempurna yang ada di dunia.
Rawa itu disebut rawa hitam penyiksaan. Permukaan airnya yang hitam dan kental bergelembung sebelum meletup-letup seperti sup mendidih seiring makhluk-makhluk berusaha melepaskan diri dari dalam rawa, hanya mulut mereka yang terlihat megap-megap, mengeluarkan suara nyaring dan membuat bulu kuduk merinding.
"Mereka yang berpikir akan masuk surga justru terjebak disini. Sayang sekali, pada akhirnya kehidupan yang kalian tempuh hanyalah sebuah jalan untuk mengumpulkan dosa dan menikmatinya disini." Samael berkomentar memandangi banyaknya makhluk-makhluk bertubuh tinggi yang mengenakan jubah hitam berkeliaran sambil membawa ruh-ruh baru.
Makhluk-makhluk berjubah dan hanya sebuah kepulan kegelapan di baliknya itu adalah utusan-utusan yang Samael perintahkan untuk mengambil setiap kematian yang telah ditentukan.
"Mareia?"
Samael mengerutkan dahi ketika pemikiran-pemikiran aneh yang sempat mengusik raib karena kedatangan Mareia-malaikat pelindung bumi-berdiri di tepi rawa sambil melambai ramah padanya.
"Bisakah kau membantuku?" Mareia tanpa basa-basi mengutarakan maksud ketika perahu menyandar dan Samael turun.
"Apa itu?"
"Daima sebentar lagi menemui ajalnya, dia berharap kau-lah yang datang langsung untuk membawanya."
Samael tidak langsung menjawab, justru bersikeras mengingat siapa itu Daima. Sekelebat rupa wanita tua bertelinga panjang dan runcing dengan sayap di balik punggung terlintas dalam benaknya. Ia ingat. Wanita itu adalah sesepuh bangsa peri, satu-satunya peri yang usianya nyaris mencapai 1000 tahun dan berperan sebagai kaki tangan Mareia dalam menjaga bumi.
"Samael?" Mareia kembali memanggil penuh harap.
Jarang sekali Samael datang langsung menjemput ruh seseorang, biasanya malaikat penyendiri itu selalu memerintah utusan yang merupakan bagian dari dirinya untuk melakukan tugas.
"Tentu saja. Pimpin jalannya," jawab Samael.
Meninggalkan Morshala, Samael pergi menuju dunia dimana para peri tinggal, mereka berada di dunia tengah namun di dimensi lain yang terbentuk demi memisahkan keberadaan dari dunia manusia. Negeri para peri, Elferia.
"Selamat datang di Elferia."
Sampai di depan pintu masuk negeri Elferia, dua penjaga berwujud pohon raksasa menyambut kedatangan Mareia, mereka sedikit merunduk hingga beberapa ranting dan daun dari bagian tubuh menyentuh tanah, mereka pun tidak lupa memberi rasa hormat pada pria bertopeng tengkorak hitam yang memancarkan kengerian luar biasa. Pohon penjaga yang memiliki rupa tersebut tanpa sadar bernapas sepelan mungkin di hadapan Samael, insting mereka bekerja secara alami dan memperingati untuk tidak menatap atau membuat sosok itu terusik jika masih sayang nyawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Samael: Love Beyond Death
RomanceSamael tidak akan pernah memahami apa arti kehidupan, ia berpikir sebagai malaikat kematian tugasnya adalah mencabut nyawa, kemudian menuntun ruh-ruh untuk melewati serangkaian tahap setelah sampai di akhirat. Memahami kehidupan dan keindahan di bal...