09| Menahan diri?

105 9 2
                                    

SELAMAT MEMBACA

Samael puas ketika Mareia dan Luciel pergi tapi, perhatiannya beralih cepat pada Zoi yang tiba-tiba hendak limbung, untung saja sebelah tangan Samael bergerak lebih cepat meraih tubuh wanita itu.

"Ada apa?" Samael mengerutkan dahi dari balik topeng.

Zoi mencekam lengan kekar pria itu sebelum berdiri lebih tegap, bersikeras agar tidak limbung lagi sebab tungkainya mendadak lemas akibat energi kematian yang terpancar dari tubuh Samel sebelumnya.

"Itu...," Zoi menelan ludah, menimbang-nimbang haruskah ia menjawab pertanyaan itu?

"Katakan," desak Samael.

"Tidak bisakah kau menekan energi kematianmu? Sejujurnya aku...," Zoi menggantung perkataan setelah memilih untuk duduk saja di rerumputan hijau yang menyelimuti area Hyfos.

"Lupakan," sambung Zoi.

Samael memandang Zoi dengan tatapan sulit terbaca sebelum mengembuskan napas dan duduk bersila di hadapan wanita itu. "Bagaimana caranya?"

"Apa?" Zoi mengerutkan dahi bingung.

"Kau tahu, aku bertugas mencabut nyawa di kehidupan ini, tidak terhitung berapa nyawa yang telah kuambil. Maka dari itu, energi ini seolah meledak-ledak dalam diriku. Bagaimana caranya aku menekan energi ini agar kau tidak kesulitan saat berada di dekatku?" tanya Samael, tatapannya tak lekang dari Zoi.

Zoi terkesiap. Entah kenapa setiap kata yang meluncur dari Samael terdengar lugu tapi, secara bersamaan membuat jantung berdebar gugup. Zoi sadar bahwa Samael tidak berniat menggoda atau sebagainya, terlebih sepertinya malaikat itu tidak tahu reaksi apa yang akan timbul setiap kali perkataan ambigu itu terlontar, hanya saja Zoi belum terbiasa.

"Aku juga tidak tahu, tapi sepertinya kau harus lebih merasakan energi kehidupan yang mengalir di tubuhmu." Zoi memberi saran.

Samael mengembuskan napas pasrah. "Kemungkinan kecil karena energi itu tidak sebanding dengan energi kem—"

"Hah...," Zoi mengembuskan napas panjang lemah lalu mata hijaunya menangkap bengis keputusasaan dari malaikat kematian tersebut

"Lupakan tentang seberapa besar energi kematian itu, kau hanya perlu fokus pada setitik energi kehidupan yang terasa."

Samael tercenung mendengar nada bicara sedikit jengkel itu dari Zoi. Apa baru saja dia dimarahi atau sebagainya? Samael berkedip dua kali.

"Kalau begitu kita harus mendatangi Ruate untuk memeriksa apakah ruh itu ada di sana."

Zoi bangkit berdiri sambil ulurkan tangan pada Samael yang masih duduk bersila di rerumputan.

"Bukankah kau tidak begitu suka dengan hawa menusuk dari kulitku?"

Eh? Zoi tersentak. Apakah setiap kali ketika mereka sedikit bersentuhan Samael memperhatikan raut wajah tak nyamannya? Padahal Zoi yakin sudah berusaha menyembunyikannya.

"Itu... aku mungkin bisa membiasakan diri." Zoi berujar canggung sembari memandang arah lain.

Jawaban Zoi membuat mata Samael terbelalak dalam hitungan detik sebelum akhirnya malaikat tersebut meraih uluran tangan Zoi dan ikut berdiri.

Hangat dan nyaman. Hanya dua kata itu yang bisa ia lontarkan dalam hati setiap kali bersentuhan dengan wanita peri tersebut.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 20 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Samael: Love Beyond DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang