Bagian 29

39 3 0
                                    

Ayana membuka matanya yang terasa berat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ayana membuka matanya yang terasa berat. Perlahan ia mendudukkan dirinya yang terbaring sejak tadi. Rasa sakit menerjang kepalanya, membuatnya melenguh kesakitan.

Ayana tak bisa tertidur nyenyak akhir-akhir ini. Semenjak kepergian sang kakak laki-lakinya, Ayana mendapatkan terror dari sosok Aphrodite secara berkala. Beberapa hari yang lalu, Aphrodite mengiriminya buku catatan milik Hanna beserta mayat kelinci yang berlumuran darah kepadanya. Ayana juga merasa selalu diawasi oleh sosok yang tidak dikenalnya itu.

Apakah Ayana ketakutan? Tentu. Ayana tau waktunya tidak banyak. Sedetik saja ia salah melangkah, nyawanya akan menghilang seperti yang dialami kakak laki-lakinya.

"Kau terus saja menyusahkanku bahkan setelah kematianmu, Han!" desis Ayana, menahan kesal. "Kau memilih mengakhiri hidupmu sendiri! Lantas mengapa aku harus mengalami teror ini? Di mana letak kesalahanku?" monolognya, merasa tak habis pikir dengan kesialan yang menimpanya.

Ayana memaksakan dirinya untuk bangkit. Ia menyibak selimut tebal yang menyelimutinya, menapaki karpet di ruangan itu. Dengan langkah terhuyung, Ayana membawa tubuhnya menuju kamar mandi. Ayana tak akan membuat Aphrodite merasa senang. Ia akan terus menjalani hidupnya seperti tak terjadi apapun padanya.

Ayana memang takut, namun ia tak akan membiarkan Aphrodite mengetahuinya. Semua air mata yang ia keluarkan kemarin, sengaja ia lakukan untuk memenuhi ego Aphrodite. Bukankah tujuan Aphrodite menerornya adalah untuk membuatnya merasa bersalah? Tetapi, di mana letak kesalahannya? Hanna memutuskan untuk membunuh dirinya sendiri, dan itu bukan kesalahannya. Ayana tak pernah meminta Hanna untuk pergi selamanya. Ayana menolak disalahkan.

Selesai dengan urusannya di kamar mandi, Ayana melangkahkan kakinya keluar dari ruangan tersebut. Suara benturan benda mengagetkannya ketika keluar dari ruang itu. Matanya memandang sekeliling dengan was-was. Jantungnya berdebar kencang. Ayana berjalan mengendap-endap menuju balkon kamarnya yang menjadi asal suara benturan tadi.

Mengintip dari pintu kaca, Ayana tak melihat adanya orang lain di luar sana. Pandangannya justru terpaku pada sebuah kotak dan makhluk aneh yang terlihat sedang menggeliat.

Dengan emosi yang memuncak, Ayana mengambil burung gagak yang sedang sekarat itu. Ia juga mengambil kotak yang tak ia ketahui isinya. Ayana menutup kembali pintu kaca, dan melangkahkan kakinya menuju meja belajar.

Tetesan darah dari burung gagak yang sedang sekarat itu mengotori tangan dan ruangan itu. Ayana memasukkan bangkai burung tersebut ke dalam sebuah kantong dan mengikatnya dengan kuat. Ia berencana membuangnya saat perjalanan ke sekolah nantinya.

Ayana membasuh kedua tangannya yang berlumuran darah, lantas membersihkan noda darah yang berceceran di kamarnya. Batinnya tak berhenti mengutuki Hanna yang membuatnya kesal. Perempuan itu telah lama tiada dan lihatlah, ia kembali membuat Ayana kesal setengah mati.

"Kalian pikir, aku akan ketakutan dan memohon ampun?" tanyanya pada keheningan, senyum miring tercetak di wajahnya. Ayana membuka kotak tersebut, menarik sebuah surat dan handycam yang tersimpan di dalamnya.

Who Am I?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang