Bagian 27

36 4 0
                                    

Sebagai anak bungsu dari keluarga yang ternama, menjaga perilaku adalah kewajiban serupa perintah yang harus aku patuhi setiap saat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sebagai anak bungsu dari keluarga yang ternama, menjaga perilaku adalah kewajiban serupa perintah yang harus aku patuhi setiap saat. Senyum, sapa dan salam harus selalu aku lakukan. Ada nama besar keluarga yang harus kujaga, dan itu membuatku sedikit muak.

Orang-orang iri padaku dengan semua yang kumiliki. Keluarga harmonis (yang mereka lihat), berlimpah materi dan juga prestasi. Itu semua seharusnya cukup membuatku merasa bersyukur. Tetapi, ada satu hal yang sulit untuk kumiliki dan itu membuatku sangat kesal. Dia... Alen, laki-laki yang kucintai.

Aku cantik. Tubuhku menarik. Otakku cerdas. Aku juga berasal dari keluarga terpandang. Singkatnya, kami setara dari segala bidang. Tidak seperti Hanna yang lahir dari keluarga tidak mampu. Harusnya Alen menyadari, hanya aku yang pantas untuk memilikinya.

Alen itu... sangat istimewa. Sosoknya masuk ke dalam siswa top sekolah yang diincar para perempuan. Aku seringkali menemukan tatapan iri kala mereka menemukanku berdekatan dengan Alen. Meski kami tidak hanya berdua, ada Hanna yang tampak seperti lalat penganggu di sekeliling kami. Di mana ada Alen, di situ ada aku dan juga Hanna.

Berbicara tentang Hanna, ah... gadis itu tengah berdiskusi dengan Alen. Aku mencebik kesal. Kenapa Alen senang sekali mengajak Hanna berbicara dan mengabaikanku? Apakah aku kurang menarik di matanya?

Sejak dulu tak pernah ada manusia yang berhasil membuatku iri, naun kehadiran Hanna dihidupku merubahnya. Aku benci perasaan iri yang tiap hari kurasakan padanya. Seharusnya dia tak ada agar rasa iri ini tak pernah muncul di benakku. Bagaimana cara menghilangkannya?

Haruskah aku menyingkirkannya?

Tapi aku tak ingin menodai masa depanku.

"Mengapa kamu tersenyum sendirian? Ada yang sedang kau pikirkan? Kulihat sejak tadi kamu hanya diam memperhatikan kami," tanya Alen, membuatku tersadar bahwa senyumku terulas tanpa kuminta. Ya, aku tersenyum. Hatiku terasa senang ketika kutemukan solusi untuk masalah ini.

Jika ada orang lain yang bisa melakukannya, kenapa harus aku? Jika tanganku bisa terhindar dari noda ini, kenapa aku harus susah payah mencucinya?

Aku menggeleng, lantas tersenyum manis. "Tidak ada. Aku hanya teringat tentang mainan baru yang dibelikan kakakku."

Benar, mainan baru. Ah, sepertinya akan menjadi permainan yang menarik.

-

"Kamu melewati batasmu!" ucap kakakku setengah berteriak.

Aku menggelengkan kepala, kudekati dia dan kugenggam tangannya. "Demi adikmu, kumohon, Kak.

"Aku memang menyayangimu, tapi aku tidak akan pernah mau melakukannya!" ucapnya dengan tegas, menolak keinginanku.

Aku sengaja menangis untuk menarik rasa empati kakakku. Aku bahkan bersujud di kakinya. "Aku tak memintamu untuk benar-benar melakukannya, Kak. Cukup buat dia merasa takut dan menuruti apa yang kuinginkan."

Who Am I?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang