V. Inner Turmoil

102 9 0
                                    

⚠️ Peringatan: Cerita ini hanyalah karya fiksi dan tidak dimaksudkan untuk merefleksikan situasi nyata. Tema-tema sensitif seperti depresi, bunuh diri dan bullying digunakan dalam konteks imajinatif semata. Penting untuk diingat bahwa kesehatan mental adalah hal serius, dan jika anda atau seseorang yang anda kenal membutuhkan bantuan, silakan mencari dukungan dari profesional kesehatan mental atau organisasi yang dapat membantu.

***

Meskipun bel istirahat telah berbunyi lima menit yang lalu, Arga tetap duduk di dalam kelas, tanpa minat untuk meninggalkan tempatnya. Rasa lapar tidak menghampirinya, walaupun semalam ia melewatkan makan malamnya lagi dan pagi tadi hanya sempat sarapan sepotong roti tawar.

Dengan kedua telinganya terhalang oleh headset, Arga larut dalam alunan musik dari playlist milik seseorang—orang yang memberikan headset ini kepadanya adalah orang yang sama dari pemilik playlist tersebut.

Arga merenung kembali tentang gadis itu, teringat akan pertemuan terakhir mereka seminggu yang lalu saat piknik. Sejak saat itu, Arga tidak lagi berkomunikasi dengannya. Selama seminggu tersebut, malam-malam yang biasanya dihiasi dengan pesan-pesan manis dan ucapan selamat tidur dari gadis itu menjadi hening, tanpa adanya interaksi di antara keduanya.

Kemungkinan gadis itu merasa kecewa atas ucapannya, namun Arga enggan menjelaskan lebih rinci tentang makna sebenarnya dari kalimatnya. Arga memilih untuk membiarkan situasi tersebut tenggelam begitu saja, tanpa mengungkapkan lebih lanjut apa yang ada di dalam hatinya.

Terperangkap dalam keramaian pikirannya, Arga tiba-tiba dikejutkan oleh bola basket yang mengenai kepalanya—tidak terlalu keras, tapi cukup membuatnya merasa nyeri. Selama seminggu ini, Arga merasa terbebas dari gangguan apapun. Namun, ketika melihat Januar berdiri di pintu kelas dan melangkah menuju mejanya, Arga menyadari bahwa ia tidak akan bisa menghindar dari kehadiran pemuda ini.

Januar berkata sambil mengangkat-angkat alis dengan ekspresi jahil, "Anggap aja yang tadi itu salam kangen dari gue karena gak ketemu lo seminggu ini." Headset yang tadinya dipakai oleh Arga dilepas dengan kasar oleh Januar, jatuh begitu saja ke lantai. Arga dengan cepat mengambilnya dan menyimpannya dalam tas untuk menjaganya tetap aman.

Januar berkata, "Gue udah nungguin lo di kantin, tapi akhirnya gue yang nyusulin lo ke sini. Nah, karena udah repot-repot nyamperin lo kesini, lo ikut gue sekarang, ya." Dengan tatapan mata Januar yang tak bisa diabaikan, Arga mengikuti tanpa memberikan perlawanan. Mereka meninggalkan kelas bersama, mengikuti langkah pemuda itu menuju belakang sekolah yang sepinya mencolok. Suasana belakang sekolah terasa benar-benar sepi, meskipun seharusnya ramai karena sedang berlangsung istirahat.

Rupanya, di sana terdapat beberapa kawanan yang menemani Januar. Saat Arga menghitung, ada sekitar lima orang, dan menjadi enam orang ketika Januar diikutsertakan. Sebagian dari mereka tengah mengapit benda yang dihisap, lalu dihembuskan hingga menimbulkan kepulan asap yang membuat orang yang menghirupnya merasa sesak, termasuk Arga yang berdiri di depan mereka. Suasana yang tadinya sepi dan hening kini tergantikan oleh aroma dan kesan sesak yang menguar di sekitar.

"Oh, ini, Nu?" Tatapan mata Arga mengarah pada seorang pemuda yang baru saja bersuara. Arga tidak mengenalnya, tapi Arga melihat name tag-nya, tertulis disana Anggara Marselino. Hanya dua orang yang Arga kenali, dua orang yang dulu ikut bersama Januar saat kejadian di kantin.

"Yoi, gak bisa apa-apa dia. Temennya yang kemarin kayaknya udah gak peduli sama dia," ujar Januar. Ucapan itu membuat pikiran Arga melayang, Jeremiah? Arga tidak pernah berpapasan dengan laki-laki itu, dan entahlah, Arga tidak ingin mencari tahu lebih banyak. Ia memilih mempertahankan jarak dari permasalahan yang sepertinya lebih baik dihindari.

alive | jenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang