VII. Honest Bonds

99 10 0
                                    

⚠️ Peringatan: Cerita ini hanyalah karya fiksi dan tidak dimaksudkan untuk merefleksikan situasi nyata. Tema-tema sensitif seperti depresi, bunuh diri dan bullying digunakan dalam konteks imajinatif semata. Penting untuk diingat bahwa kesehatan mental adalah hal serius, dan jika anda atau seseorang yang anda kenal membutuhkan bantuan, silakan mencari dukungan dari profesional kesehatan mental atau organisasi yang dapat membantu.

***

Tubuhnya masih tidak bergerak, sepertinya dia terperangkap dalam pandangan rumah di hadapannya, seolah menunggu sosok yang mungkin ada di dalamnya. Keraguan yang begitu mendalam membuatnya enggan untuk menekan bel rumah, sehingga dia terpaku di ambang pintu dengan kepala dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab.

Dalam kegelapan ketidakpastian, tekadnya untuk meminta maaf telah terpatri kuat di dalam hatinya. Sejak semalam, dia telah merenungkan hal ini tanpa henti, meskipun tak mampu memprediksi reaksi dari gadis tersebut. Tetapi di lubuk hatinya, dia berharap mendapat pengampunan. Itulah yang terus berkecamuk dalam benaknya semalam, hingga segalanya berubah saat langkahnya memasuki tempat tujuan.

Helaan nafas terus terdengar, mencerminkan gelisah yang merayap di dalam dirinya. Dengan hati yang berdebar, dia merasa ingin segera membuka ponsel untuk menghubungi orang yang dituju, namun suara di belakangnya membuatnya sedikit terkejut, membuatnya dengan cepat menoleh ke arah asal suara.

"Arga?"

"Senja..." Kalimatnya terputus, tersangkut dalam kekacauan pikiran yang menghambatnya. Arga berusaha merangkai kata-kata untuk menjelaskan tujuan kedatangannya kepada gadis di depannya, namun upayanya terasa sia-sia. Pikirannya terlalu berantakan, membingungkannya dalam mencari kata yang tepat. Akhirnya, yang terucap hanya serangkaian kata singkat yang tidak sepenuhnya mampu menyampaikan maksudnya dengan jelas.

"Maaf..."

Senja mengangkat kedua alisnya, memperhatikan dengan seksama pemuda yang mengenakan hoodie hitam tersebut. "Kenapa kok minta maaf?" tanya Senja, membuat Arga menatapnya kembali dengan intens. Bibir Arga bergerak ingin berbicara lagi, namun ia terdiam, tertahan oleh kebingungannya, sehingga hanya gumaman yang terdengar dari bibirnya. Ekspresi wajahnya mencerminkan kebingungan yang mendalam, mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan alasan kedatangannya kepada Senja.

"Kenapa, Arga? Ngomong aja pelan-pelan. Kamu minta maaf kenapa?" Tanya Senja, suaranya lembut dan penuh pengertian, mengajak Arga untuk berbicara dengan tenang. Tatapan matanya penuh dengan kehangatan, memberikan dukungan agar Arga merasa lebih nyaman dalam mengungkapkan perasaannya, termasuk alasan kedatangannya ke sini. Senja mencoba membuka ruang yang aman bagi Arga untuk berbagi, memastikan bahwa Arga merasa didengar dan dipahami sepenuhnya.

"Aku minta maaf atas kejadian di piknik waktu itu."

"Emang kenapa di kejadian piknik waktu itu?" Tanya Senja lagi, sengaja memancing pemuda di depannya. Arga mendongak untuk memastikan apakah Senja sengaja mempertanyakan hal itu untuk sekedar bercanda, namun yang didapatinya hanyalah wajah datar gadis itu. Tatapan Senja tetap serius, tanpa sedikitpun terlihat tanda-tanda bercanda.

"Mungkin omonganku ada yang buat kamu tersinggung."

"Omongan kamu yang mana?" Senja semakin mendesak Arga, ekspresinya sudah menunjukkan kebingungan yang kentara meskipun sebenarnya dirinya hanya ingin bercanda karena melihat raut wajah Arga yang sekarang sungguh lucu.

"Yang cuma anggap kamu temanku?"

"Berarti waktu itu ucapan kamu salah? Terus yang bener yang mana?"

Sebelum menjawab, Arga menatap lekat-lekat manik Senja, mencoba memperoleh keberanian dari tatapannya. Kemudian, dengan suara yang lugas, ia menyampaikan, "Aku nyaman sama kamu, Senja." Meski di tengah ungkapannya, Arga masih berusaha membatasi apa yang seharusnya dia batasi. Ada hal yang terlalu sulit baginya untuk melibatkan Senja di dalamnya, ada rahasia yang masih tersembunyi, dan luka yang belum sembuh sepenuhnya. Meskipun begitu, kata-kata itu menggambarkan perasaannya yang tulus.

alive | jenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang