I. Rainy Encounters

436 22 0
                                    

⚠️ Peringatan: Cerita ini hanyalah karya fiksi dan tidak dimaksudkan untuk merefleksikan situasi nyata. Tema-tema sensitif seperti depresi, bunuh diri dan bullying digunakan dalam konteks imajinatif semata. Penting untuk diingat bahwa kesehatan mental adalah hal serius, dan jika anda atau seseorang yang anda kenal membutuhkan bantuan, silakan mencari dukungan dari profesional kesehatan mental atau organisasi yang dapat membantu.

***

Brukh!

Arga meringis ketika dua lututnya menyentuh lantai yang dingin, kemudian menyadari bahwa orang-orang di sekitarnya mulai memberikan perhatian ke arahnya. Ia memejamkan matanya sejenak sebelum bersiap menghadapi situasi selanjutnya.

Belum sempat dia mendongak, dirinya kembali merintih kesakitan saat sepatu dengan sengaja menginjak tangannya.

"Lemah banget, elah! Bangun, lo!" Seruan itu semakin merendahkan, disertai dengan dorongan keras yang membuat kepala Arga terdorong ke depan, sementara pelaku tersenyum puas atas tindakannya. Dia merasa menang karena tidak melihat tanda-tanda bahwa Arga akan melawannya.

"Lo ngapain sih ngalangin jalan gue? Jadinya kesenggol kan." Kerah seragam Arga ditarik hingga membuatnya berdiri dengan paksa. Sekarang, ia berhadapan dengan pemuda bernama Januar, seorang pemuda yang senang melihat dirinya menderita tanpa alasan yang jelas.

"Ngomong coba, punya mulut kan lo?"

"Lepas." Hanya itu, dengan sedikit usaha, Arga berusaha melepaskan cengkeraman tangan Januar yang masih mencengkram erat kerah seragamnya. Namun, harapan itu tidak semudah yang diinginkan. Cengkeraman di kerah seragam Arga semakin kuat, hampir membuatnya tercekik. Sebelum itu terjadi, tubuhnya bertabrakan dengan dinding luar kelas, menciptakan dentuman yang mengiringi kejatuhan Arga ke lantai dengan kasar.

"Bacot, kayak bencong lo ngomong." Kalimat itu menjadi kalimat terakhir Januar sebelum dirinya menginjak kasar kaki Arga, kemudian pergi tanpa rasa bersalah.

Arga hanya diam di sana, masih terduduk. Dia menunggu sekitar hingga sepi, kemudian bangkit sembari menahan sakit di tubuhnya. Berjalan pelan menuju kelasnya dalam keheningan.

Miskin dan lemah.

Mungkin kalimat-kalimat itu sudah menjadi beban bagi Arga selama dua tahun terakhir, semua perubahan hidupnya yang drastis meruntuhkan kekuatannya. Ia terperangkap dalam lubang yang begitu dalam dan terpuruk. Rasa putus asa mencekamnya, hingga Arga akhirnya hanya bisa pasrah menerima segala kenyataan pahit yang datang menghampirinya.

Terlalu banyak rasa sakit, Arga tidak bisa melawan. Dia ingin mengobati, namun rasa sakit yang terus-menerus menyerang membuatnya bingung harus menanggapi yang mana terlebih dahulu.

Arga tidak memiliki cukup kekuatan untuk melawan lagi.

***

Hujan turun dengan deras, namun tidak membuat Arga menghentikan langkahnya. Dia membiarkan air hujan membasahi tubuhnya, meski memakai hoodie yang membuat wajahnya sedikit tertutup, wajahnya tetap terkena air. Arga sudah basah sepenuhnya, namun dia tidak peduli dengan dinginnya air hujan.

Langkahnya masih terus teratur hingga seseorang menghentikannya. Hal tersebut membuat Arga mendongak untuk mengetahui siapa yang berdiri di depannya.

"Hai!" Senyum di wajahnya tak luntur meski air hujan juga ikut membasahi. Gadis dengan mata sedikit sipit ini tetap mempertahankan senyumannya, walau sapaannya tidak dijawab oleh Arga. Kehadirannya penuh keceriaan, lambaian tangannya penuh semangat, seolah-olah tidak terpengaruh oleh respon dingin yang datang dari Arga. Suara gemercik hujan dan semangat gadis itu menciptakan kontras menarik di tengah-tengah situasi yang hujan.

"Mandi hujan juga ya? Seru kan? Aku ajak kamu kemarin, tapi kamu gak mau. Padahal aku udah nungguin loh dekat sekolah kamu. Tapi untungnya hari ini kita malah ketemu, terus kamu—"

"Berisik," balas Arga, masih dengan sikap dinginnya. Arga lebih memilih menyingkir dari hadapan gadis ini. Dia kembali melangkah, dan si gadis ikut menyusul langkah di sampingnya, sepertinya memang tidak ada kata lelah dari gadis ini.

"Kamu mau kemana habis ini? Pulang kah? Jangan dong, main aja kita. Atau jajan, aku deh yang traktir. Atau mau main di taman—"

"Senja."

"Hm?" Kedua matanya mengerjap saat Arga menatapnya, mengakibatkan keduanya berhenti melangkah.

"Aku gak ada waktu buat itu semua, aku mau pulang."

"Yaudah, kita main-main aja di rumah kamu. Gimana?"

"Gak." Arga melanjutkan langkahnya, dan begitu pula dengan Senja, gadis yang berjalan bersamanya.

"Kok gak sih? Kan aku mau temanin kamu, ayo main aja kita. Biar kamu gak kesepian."

"Gak." Lagi, penolakan Arga terdengar kembali, menyebabkan Senja mengerucutkan bibirnya dengan ekspresi kesal. Meskipun begitu, penolakan Arga tidak menjadi kendala baginya. Senja sudah terbiasa dengan hal itu. Setiap harinya, meski terkadang berhasil juga sih dia membujuk laki-laki ini.

"Sekali aja, please. Kan kita udah lama gak main, Arga."

"Teman kamu banyak, gak usah ajak main aku. Aku bukan temanmu." Kalimat itu membuat Senja membulatkan matanya tidak terima.

"Gak! Kamu itu temanku, tahu! Kita udah lama temenan, loh. Gimana sih?" Serunya kesal, terdengar kecewa karena Arga tidak mengakui hubungan pertemanan mereka yang sudah berlangsung lama.

"Aku gak pernah anggap kamu temanku."

"Aku aja yang anggap, gak papa kok."

"Terserahlah," ujar Arga dengan pasrah. Keduanya melanjutkan langkah mereka, menapaki gang yang membawa mereka masuk ke rumah Arga.

"Ih, udah mau sampai lagi, tunggu sebentar, Arga." Tangannya refleks menahan lengan Arga, yang diikuti oleh laki-laki itu dengan menepis perlahan. Senja segera melepaskan saat menyadari ketidaknyamanan Arga terhadap sentuhan itu.

Keduanya saling menatap, namun ekspresi tatapan mereka berbeda. Arga menunjukkan rasa jengah dalam pandangannya kepada gadis itu, sementara Senja, binar di matanya tetap tidak berubah—sudah begitu sejak dulu.

"Yaudah, ambil ini. Jangan dibuang ya, please. Kalau gak mau dipakai, simpan aja deh." Senja menyodorkan satu kotak yang berisi headset kepada Arga. Pemberiannya membuat Arga bingung, maksudnya untuk apa hadiah ini?

"Nanti aku mau buatin playlist, terus dengerin lagunya pakai ini. Nah, nanti dengerinnya pas di sekolah kamu aja."

Random banget ya Tuhan, kira-kira begitulah batin Arga.

"Oke, diambil ya. Jangan dibuang, dipakai sih kalau bisa. Nanti aku kirim playlist-nya. Aku pulang ya. Bye! Arga, jangan lupa istirahat!" Senja berucap sambil mundur perlahan, melambaikan tangannya dengan senyuman ceria seolah meninggalkan jejak keceriaan di hadapan Arga.

"Bye, Arga, temenku!" ujarnya terakhir kali sebelum berbalik dan berlari kecil, meninggalkan Arga di sana.

Rintik-rintik hujan menciptakan kelembutan di wajah Arga, namun tak mengaburkan pandangannya saat menyaksikan kepergian gadis itu. Arga menghela nafas pasca hujan, kemudian fokus pada kotak yang kini berada di genggamannya. Suasana terasa hening, hanya diiringi oleh suara gemercik hujan yang memayungi perpisahan itu.

"Kalau gak dipakai mubazir namanya..."




****

to be continued...

alive | jenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang