IV. Unspoken Feelings

100 10 0
                                    

⚠️ Peringatan: Cerita ini hanyalah karya fiksi dan tidak dimaksudkan untuk merefleksikan situasi nyata. Tema-tema sensitif seperti depresi, bunuh diri dan bullying digunakan dalam konteks imajinatif semata. Penting untuk diingat bahwa kesehatan mental adalah hal serius, dan jika anda atau seseorang yang anda kenal membutuhkan bantuan, silakan mencari dukungan dari profesional kesehatan mental atau organisasi yang dapat membantu.

***

Perlahan, Arga menjelajahi lorong kelas yang mengarah ke lapangan luas di depan. Suara bel yang berbunyi beberapa menit yang lalu menandakan waktu pulang telah tiba. Lorong penuh dengan keceriaan siswa yang bercerita dan bermain, Arga berjalan sendirian, terpikir andai saja dia bisa bergabung dalam kegembiraan mereka, khususnya saat melihat teman-temannya dari kelasnya bermain sepak bola dengan penuh semangat.

Pada masa lalu, Arga pernah merasakan kebahagiaan yang begitu tulus. Dahulu, tawa riang sering menghiasi harinya, dan kenangan indah itu kini menjadi nostalgia yang selalu menghampirinya. Meski sadar bahwa momen tersebut tak akan kembali, Arga merindukan waktu-waktu yang penuh kegembiraan. Namun, dia menerima kenyataan bahwa setidaknya kenangan itu tetap abadi dalam ingatannya, menjadi bagian berharga dari perjalanan hidupnya.

Arga masih tenggelam dalam lamunannya, sehingga tak menyadari langkah seseorang yang mendekatinya. Baru ketika suara yang akrab terdengar, "Woi," Arga tersadar dari khayalannya. Teguran itu bukanlah untuk mengejutkannya, namun lebih sebagai cara ramah untuk memperhatikan kehadiran orang itu.

"Sorry sorry, gak maksud ngagetin."

"Kenapa?" Arga bertanya langsung, tanpa embel-embel basa-basi. Keterbiasaannya sekarang yang jarang didekati oleh teman seumurannya membuatnya kurang terampil dalam percakapan santai.

"Gak papa, lanjut jalan aja. Gue juga mau keluar, jadi bareng aja."

Manik Arga melirik sekitar yang sekarang tampak mencuri-curi pandang, tepatnya ke arah Nathaniel Jeremiah. Yang sekarang sedang berdiri disampingnya sekaligus seseorang yang baru saja mengajaknya berjalan bersama.

Merasa tidak nyaman dengan sekitarnya, Arga hanya mengangguk dan memutuskan untuk berjalan duluan, diikuti oleh Jeremiah yang menyamakan langkahnya. Setelah Jeremiah menyatakan bahwa dirinya adalah teman dari gadis ceria yang sering menemui Arga, sepertinya Jeremiah ingin membangun persahabatan dengan Arga.

Keduanya telah tiba di depan gerbang, dan Arga sudah berniat untuk berpamitan duluan. Namun, suara yang sangat dikenalinya menyapa Arga dengan keceriaan, disertai senyuman yang tak pernah luntur ketika berhadapan dengannya. Tidak hanya gadis itu yang hadir, melainkan juga dua pemuda lain di belakangnya, terlihat seragam mereka bertiga identik. Arga menebak bahwa kedua pemuda tersebut adalah teman-teman dari gadis itu.

"Hai! Udah kenalan sama Jere? Dia temenku, baru pindah ke sekolah kamu," kata Senja penuh semangat. Setiap kali mereka bertemu, sapaan itu menjadi ritual yang tak pernah terlewatkan, dan Senja merasakan kegembiraan yang begitu jelas ketika bertemu dengan Arga.

"Berisik, dia takut noh sama lo," seru seorang pemuda di belakang Senja, menggambarkan perasaan Arga yang tengah terdiam di tempatnya. Arga terlihat bingung dihadapkan pada orang-orang di sekitarnya saat ini.

"Oh iya, kenalin gue Haris. Temen Senja," ucap Haris sambil mengulurkan tangannya ke Arga. Arga dengan cepat menyambutnya, ikut memperkenalkan dirinya.

alive | jenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang