III. Resolve in Silence

113 14 0
                                    

⚠️ Peringatan: Cerita ini hanyalah karya fiksi dan tidak dimaksudkan untuk merefleksikan situasi nyata. Tema-tema sensitif seperti depresi, bunuh diri dan bullying digunakan dalam konteks imajinatif semata. Penting untuk diingat bahwa kesehatan mental adalah hal serius, dan jika anda atau seseorang yang anda kenal membutuhkan bantuan, silakan mencari dukungan dari profesional kesehatan mental atau organisasi yang dapat membantu.

***

Dalam malam yang kelam, bayangan Arga terlihat samar di antara gemuruh hujan yang tak berkesudahan. Di keheningan malam yang suram, dia memandang tumpukan pakaian kotor dengan tatapan hampa. Tetesan hujan seperti melukiskan duka yang terpendam, menciptakan atmosfer kesendirian. Namun, di dalam keheningan malam yang kelam, ada kekuatan tenang dalam setiap gerakan tangannya yang sedang mencuci. Arga menemukan ketenangan dalam rutinitasnya.

Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Seiring dengan sepinya malam, bunyi pintu rumah yang terbuka dengan kasar membuyarkan kedamaian, membuatnya menoleh dengan cepat. Tanpa bisa dipungkiri, raut wajahnya berubah menjadi decak kesal saat mengetahui siapa yang datang tanpa mengetuk pintu, menciptakan ketegangan di udara malam yang sebelumnya tenang.

"Tante—"

"Ngapain kamu?" Tidak ada sedikit pun nuansa kehangatan atau ketulusan dalam intonasinya. Arga merasakan betul bagaimana Tantenya itu terlihat begitu enggan bertemu dengannya, dan kelemahan itu sudah lama menjadi kenalannya.

"Lagi cuci baju, Tan. Duduk dulu—"

"Kamu tahu alasan saya datang ke sini? Guru kamu menelepon saya karena beberapa minggu terakhir kamu selalu tidur saat jam pelajaran berlangsung. Nilai-nilai kamu bahkan mengalami penurunan drastis, dan banyak tugas yang kamu tinggalkan." Arga berusaha untuk memberikan jawaban, namun ia kembali terbungkam oleh kelanjutan pembicaraan Tantenya yang tak kunjung usai. Situasinya membuatnya sulit untuk menyampaikan alasan atau membela diri.

"Jangan merepotkan saya dan suami saya. Orang tua kamu sudah cukup merepotkan. Sekarang, kamu ingin merepotkan kami lagi? Bersyukur, Arga. Kami sudah membiayai sekolah dan kebutuhan kamu." Nada bicaranya dipenuhi kekesalan, menandakan bahwa Tantenya ini benar-benar marah dan frustrasi dengan situasi tersebut.

Arga merasa tidak enak, meski kalimat Tantenya sebelumnya tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Sayangnya, dia tidak diberi kesempatan untuk memberikan penjelasan. Kembali, dia dihadapkan pada keheningan yang memaksa dirinya untuk terus membungkam mulut sendiri. Keadaan ini semakin menegaskan kebiasaannya untuk meredam kata-kata dan menyimpan pemikirannya sendiri.

"Kemarin suami saya baru saja mengirim uang bulanan untuk kamu, kan? Ingat, jangan boros. Kamu bukan satu-satunya yang harus kami biayai. Jangan terlalu merepotkan, kamu di sini sendirian. Belajar mandiri, mengerti, kan?"

"Ngerti, Tan," jawab Arga dengan suara lirih, meski di dalam dadanya terasa kesakitan saat deretan keluhan itu mengalir dengan lancar. Dia merasa seolah ditusuk oleh setiap kata, namun ia memilih untuk menahan dan menuruti.

Arga mencoba melupakan rasa sakit di dalamnya dan memilih tersenyum tipis, lalu berbicara dengan lembut, "Tante gak mau duduk dulu? Arga ada beberapa cemilan." Kesediaan Arga untuk menciptakan momen yang lebih ringan dengan ajakan santai mencerminkan upayanya untuk menciptakan suasana yang lebih hangat diantara mereka.

Mata itu memicing dengan ekspresi tidak suka, dia berdecih, dan terdapat keremehan dalam wajahnya, "Memangnya kamu punya apa? Semua yang ada di sini, bukannya hampir semuanya berasal dari uang suami saya?" Sorotan tajam dalam kata-katanya menggambarkan ketidaksetujuannya.

alive | jenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang