Past

753 69 0
                                    

Shani dan Gracia kembali ke dalam mobil setelah menyelesaikan makannya dan obrolan panjangnya. Shani juga sudah melepas rindu dan kekhawatiran terkait adik kelas kesayangannya. Kini Shani tidak perlu khawatir, apalagi mengetahui Mazda MX 5 Adel yang sudah diupgrade menjadi BMW.

Shani Indira
Zee, tolong anterin ke apart yang deket klinik aja ya, taukan keypass nya?

Azizi Asadel
Aman, tapi nanti ceritain ya wkwk

Shani Indira
Gapapa? Ada Acel sama Adel soalnya

Azizi Asadel
Read

***

“Gua aja yang nyupir Ge, lo tadi rakus banget. Semua dimakanin, kasian perut lo.”

“Gak semua ah, hiperbola lu.”

Mereka tertawa.

“Ke mana sekarang?” Tanya Shani yang mulai menyalakan mesin.

“Nggak ke klinik lagi?”

“Udah minta Zee buat bawa ke apart. Oh, ya. Rumah lo di mana?”

Mobil mulai berjalan dan Shani hendak membayar biaya parkir, tapi katanya parkir gratis.

Abangnya Adel baik bener. Batin Shani.

“Em... Gua belum rent tempat tinggal sih. Soalnya kalo di kerjaan gua yang dulu kan udah dikasih tempat tinggal juga, jadi gua nggak perlu ngeluarin biaya tambahan. Mana dikasih makan 4x sehari terus dikasih uang jajan lagi cuma buat ngebunuh orang.”

Shani terus berfokus pada setiap kata yang dikeluarkan Gracia, sampai ia mengeluarkan kata 'membunuh'. Shani berusaha konsentrasi dan tetap membiarkan dirinya aman agar tidak menubruk selama mengendarai dan aman dari Gracia juga.

Gua tahu, ini cewek bahaya. Bahaya banget. Tapi, apa yang ngebuat gua mau jalan sama dia? ... Eh... Tujuan gua kan dari awal mau bunuh diri? Kok, gua jadi agak segan sama ini cewek? Shani mulai berpikir tidak karuan. Pada akhirnya, Shani memutuskan untuk parkir di suatu minimarket untuk membahasnya lebih detail.

“Ge. Serius. Lo pernah bunuh orang?” Shani mematikan mesin dan memutarkan badannya agar menghadap ke kursi penumpang depan yang diisi oleh Gracia.

“Sering.” Keluar dari mulut Gracia dengan mudahnya.

Shani menelan ludah.

“Kenapa?”

“Tugas.”

“Dari?”

“Bos.” 

Shani sontak mengeluarkan pistol yang sedari tadi ia sembunyikan di dalam blazernya.

“Bos lu siapa? Shania Gracia... Yakin itu nama asli lo? Gua curiga lo ngejebak gua, dan...”

“Dan, apa? Shani Indira? Atau, putri Dira? Dari organisasi yang sok membela kebenaran dan keadilan?”

Gracia juga mengeluarkan sesuatu, tapi bukan pistol. Itu bom.

“Ini cuma bom radius kecil, jadi paling... Yah... Minimarket ini sama sebelah depan belakangnya doang. Jadi gimana, putri Dira?”

Shani mendecakkan lidahnya.

“Padahal gua udah nggak ada urusan apa-apa... Jangan ganggu orang gak bersalah, Gracia.”

“Apaan nih? Sekarang sok jadi pahlawan. Tapi sebenernya kita masih ada urusan yang belum selesai loh, Shani...”

“Hah?”

“Hmm... Udah lama sih, tapi gua masih inget jelas. Jelas banget... Kapan, ya? Kalau ga salah, 19 tahun lalu?”

***

“Shani Indira vs Shania Gracia, yang kalah tidak mendapat jatah makan malam!” Ucap wasit kejam tersebut, lalu meniup peluit.

Shani Indira dan Shania Gracia beradu di atas ring, tanpa senjata. Hanya dengan tangan kosong, bocah berumur 5 dan 6 tahun itu saling menimbuk satu sama lain demi makan malam, menurut orang lain.

“Nanti aku kasih aba-aba, kamu pukul aku sekuat tenaga. Oke?” Shani berbisik pada Gracia, senatural mungkin.

“Hah...?” Ekspresi Gracia terlihat jelas di mata Shani, tapi tidak di mata wasit. Mereka berdua hanya tidak lebih dari bocah kumuh yang menjadi senjata hidup.

“Aku udah makan tadi siang, menu makan malemnya aja cuma roti sama susu. Mending nasi bekas kayak tadi siang, seenggaknya kenyang. Jadi, mending kamu aja yang makan.” Jelas Shani sebisa mungkin memberikan penjelasan yang singkat agar tidak di notice wasit dan diberi siksaan lagi.

Bodoh. Pikir Gracia saat itu. Ia merasa Shani sangat bodoh karena lebih memilih nasi sisa dari pada roti dan susu yang jelas-jelas lebih bergizi. Semua orang menjadi lebih kuat pada malam hari karena terkadang makan malamnya lebih enak dibanding saat siang hari.

Gracia tetap melakukan apa yang Shani perintahkan. Saat Shani melakukan sebuah aba-aba, pukulan Gracia mulai melayang di wajah Shani dengan keras hingga terjatuh.

Aku harap suatu hari nanti bisa makan roti sama susu sepuasnya... Harapan Shani saat mendapat pukulan dari Gracia sebelum akhirnya pingsan.

***

“Jujur, gua sempet mikir lu bodoh. Siapa yang bakal lebih milih nasi bekas dibanding roti sama susu? Ternyata, di situ gua yang bodoh... Gua baru sadar pas lo pergi, Shani Indira.”

Shani baru mengingatnya, mengingat semua itu.

“Jadi, lo masih di situ? Nggak keluar?”

Shani perlahan kembali rileks, ia menyembunyikan pistolnya.

“Keluar. Tapi, keadaan malah makin buruk. Karena sekarang kayaknya gua musuh lo. Organisasi kita beda jalan, tapi satu tujuan.”

“Heh, jangan salah. Gua udah keluar dari organisasi mana pun. Jadi hidup gua udah gak terikat kontrak sama apa pun. Gua bayar uang tebusan. Kenapa lo gak gitu aja? Hidup lebih damai.”

“Lo pikir gua punya duit?” Gracia menghela napas.

“Mau gue bayarin?”

“Jangan ngaco. Harganya miliaran.”

“Lo juga jangan sotoy, dikira gua gak ada gitu duit segitu?”

Gracia menarik bibirnya dan tersenyum senang.

“Emang lo rela bayarin orang asing yang bahkan kemaren niat buat bunuh lo? Emang, gua siapa?” Gracia mendekatkan wajahnya dengan wajah Shani sehingga Shani bisa melihat Gracia dengan jelas, dan bibir merah meronanya.

Shani kabur dari situasi itu dengan berdeham lalu membuka pintu mobilnya.

“Loh, loh, mau ke mana?”

“Beli roti sama susu.”

Shani keluar dari mobil, Gracia juga mengikuti Shani dan masuk bersamaan dengan Shani yang tiba-tiba menggenggam tangan Gracia dan memasukkan tangan mereka berdua di saku jaket Shani.

GreShan: Your favorite girl Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang