Kalau

723 67 0
                                    

"Lo... Lo... Se... Rius?" Lirih Shani yang sedang dicekik oleh Gracia.

"Kenapa? Katanya mau mati? Kok gajadi?" Gracia hanya tertawa sambil menguatkan cengkramannya.

"Ack! Lo... Yang bikin... Ugh... Gua, jadi mau... Lebih... Lama hidup... Gracia. Argh!" Shani membuat Gracia melepaskan tangan yang sedang mencekiknya.

Shani batuk berkali-kali setelah cekikan itu terbatalkan.

"Shani, Shani... Hidup itu serem, mending mati sekarang. Oke?"

Shani didorong oleh Gracia hingga terjatuh, kini tubuh Gracia berada di atas tubuh Shani.

"Sayangnya, gue lagi nggak bawa senjata. Tapi, yah, ada pisau dapur. Gapapa lah ya? Paling, sakit dikit..."

Gracia langsung mengarahkan pisau dapur tepat ke jantung Shani, lalu...

***

"Shan, Shani! Shani Indira!" Gracia menggoyang bahu Shani yang sedari tadi mengganggu tidurnya dengan suara rintihan.

"Gra-! Oh..."

"Kenapa? Mimpi buruk...?"

"... Kayaknya."

Shani sendiri bingung, apakah ini termasuk mimpi buruk?

***

"Jawab dulu, Shan!! Bagi kamu, aku itu apa?"

Gracia tetap keras kepala dan melepaskan tangannya dari genggaman Shani.

"Menurut kamu?"

"Stop jawab pertanyaan pake pertanyaan!"

Shani berpikir sejenak sebelum benar-benar menjawab pertanyaan Gracia, tapi mereka baru saja masuk ke dalam minimarket dan menghalangi pintu keluar. Shani menarik tangan Gracia lembut agar mereka pindah ke bagian yang lebih luas.

"Orang yang bikin gue lebih lama hidup."

Pupil Gracia membesar. Detak jantungnya terdengar sangat keras. Matanya seolah seperti kamera modern yang hanya difokuskan kepada seorang saja, yaitu Shani, dan memblur orang lain yang tidak sengaja muncul di frame.

"Terus, hubungan kita?"

"Temen masa kecil." Jawab Shani singkat. Meski begitu, Shani menjawab dengan bersungguh-sungguh. Karena mereka memang tidak memiliki hubungan spesial. Tapi, tidak dapat dipungkiri jantung Shani terasa seperti mau copot saat itu.

Apaan sih ini anak, nanya-nanya mulu hubungan kita apa? Gue masih inget, tapi itu kan dulu. Gak salah sih dulu gue sayang banget emang sama Gracia...

Shani pergi ke tempat roti dan susu, bersebelahan.

"Shann, yang beneerr" Rengek Gracia.

"Berisik deh lu, maunya apa? Ambil aja nih snack-snack sesuka lu" Shani sudah lelah menanggapi, lalu mengalihkan topik dengan camilan karena Gracia terlihat seperti anak kecil yang doyan makan.

"Wih, beneran?" Benar saja, Gracia tersenyum manis dan matanya berbinar-binar menatap camilan yang berjejer di rak makanan.

Tanpa ragu dan antimainstream, Gracia mengambil keranjang baru lalu memasuki semua jajanan yang ia inginkan.

Gila ni bocah, kalo dipelihara terus bisa bangkrut. Shani terkejut dengan tindakan Gracia yang sangat tertarik dengan aneka camilan dan jajanan. Tapi, di saat yang sama ia juga lega karena Gracia tidak akan mengomel dan bertanya terus seperti tadi.

***

Mengelilingi bundaran HI, belanja di MOI, berfoto dan membuat story untuk media sosialnya di PIK, petualangan mereka hari ini akan ditutup dengan makan malam.

"Mau makan apa?" Tanya Shani.

"Bebas."

"Erm... Pizza?"

"Ayok!" Shani sedikit terkejut, kiranya Gracia akan menolak seperti wanita secara general.

Shani tidak membawanya ke restoran pizza asal-asalan, ia membawa Gracia ke restoran pizza yang bahkan terkenal di luar negeri dengan limpahan kejunya.

"Shan, lo bukannya nggak suka keju?"

"Kata siapa?"

"Kata lu sendiri, dulu. Makanya setiap tanding sama siapapun lu ngalah mulu pas hadiahnya keju atau ngasih ke orang lain diem-diem pas gak sengaja menang, ke gue contohnya."

"Oh, itu... Emang iya? Gua nggak inget sih. Tapi, waktu itu keju mewah banget, kan? Gua cuma takut terperdaya sama keju, jadi pengen terus-terusan dan malah win streak."

"Ididih, sombong bener. Emang yakin, kekuatannya masih ada?"

"Perlu gua tunjukkin langsung?"

"Nggak ah, keburu laper." Gracia keluar dari mobil lebih dulu, lalu Shani terkekeh dan memarkirkan mobilnya.

Restorannya cukup luas dan masih tersisa kursi untuk pasangan. Mereka duduk berhadap-hadapan dan memesan satu pizza penuh keju mozarella. Setelah pesanan mereka datang, mereka tampak sangat menikmatinya.

***

Shani dan Gracia kembali ke apartemen setelah kenyang. Menurunkan semua barang yang telah dibeli termasuk jajanan yang Gracia looting.

Shani membuka pintu apartemen, menyalakan saklar lampu, dan menaruh belanjaan di dekat TV. Sedangkan Gracia langsung berlari menuju kasur dan merebahkan dirinya seolah sedang berada di atas tumpukan salju setelah membuka alas kaki dan jaketnya. Shani baru saja menyalakan AC nya melalui remote yang ada di atas meja TV.

"Cuci muka sama kaki dulu gih, kotor kuman semua." Ucap Shani yang kini sedang melepas sepatu dan kaus kakinya.

"Mager ah Shann"

Mendengar hal itu, Shani menutup pintu apartemen, tak lupa menguncinya. Lalu menuju kasur dan menarik kedua kaki Gracia agar turun dari kasur dan membersihkan diri lebih dulu.

***

"Ih, Shan, lampunya jangan dimatiin. Serem tau!" Protes Gracia.

"Serem...? Serem dari mana? Lampu doang." Shani tetap mematikan lampu. Gracia menggenggam erat selimut yang akan dipakai bersama Shani, dan menarik selimut untuk menutupi setengah kepalanya.

"Lo takut gelap?"

"Ya..."

"Walaupun ada gua di sebelah lo?"

"Iya."

Shani menghela napas.

"Kalo gitu, gua nggak bisa ngajak lo ke bioskop dong?"

"Hah? Kenapa?"

"Di sana kan gelap."

"Beda, Shan!! Kalo di bioskop, kan, gua fokusnya ke film! Kalo di sini... Takutnya..."

"Jadi, kalo gua ngajak lo ke bioskop, mau?"

Kok malah jadi ke topik gini sih? Tapi, gua suka, hehe. Batin Gracia.

"... Mau." Sebenarnya Gracia ingin membalas dengan lebih terdengar excited, tapi ia takut kelepasan.

Shani tersenyum puas mendengar jawaban Gracia, lalu menuruti permintaannya untuk tidak jadi mematikan lampunya.

***

Tengah malam, jam satu malam, Shani mengigau yang membuat tidur Gracia terganggu.

"Lo... Yang bikin... Gua, jadi mau... Lebih lama hidup, Gracia..."

GreShan: Your favorite girl Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang