3. BERTEMU DENGAN SAHABATKU

161 3 6
                                    

PEMERAN DEAN DALAM KISAH INI JATUH KEPADA PRIA YANG ADA DI FOTO INI, KATA AKU MAH GANTENG SIH WKWKWK TAPI AKU GAK TAHU NAMANYA AWOKAWOK

Boleh minta komen yang banyak di sini?

REMEMBER FOLLOW, VOTE AND COMMENT:) 

*

Aku mendengar seseorang sedang bicara, memiringkan tubuhku lalu memindahkan tubuhku menjadi terlentang dan membuka mata secara perlahan-lahan sembari bangun dari tidurku. Terdengar suara bass dari sini, aku mencoba untuk melihat siapa gerangan karena dia tidak menunjukkan wajahnya. Dia memakai kaus charcoal panjang dan celana panjang skinny fit berwarna hitam. Jika di telusuri dari suaranya, itu milik suamiku—Dean Harlod Bert. Tapi aku takut salah memperkirakan, takut-takut dia adalah orang lain. Jadi aku menunggu saja dia berbalik.

Pria itu sedang menelepon, yah, sayangnya dia mematikan speaker handphone-nya, jadi aku tidak tahu apa-apa, “Dia sudah siuman. Ya, dia sudah di pindahkan. Nanti aku beritahu kamu letak kamarnya di mana. Nanti,” katanya menoleh ke arahku, yang ternyata benar bahwa pria itu adalah Dean. Aku sedikit tersenyum, Dean sedikit terkejut dan membuang napas, “Ada yang harus aku beritahu kamu. Nanti kamu chat saja aku, nanti aku langsung ke sana. Oke, ya.”

Dean mematikan handphone-nya dan dia masukkan benda mungil itu di kantung celana. Dia mendekatiku dan duduk di ranjang. “Selamat pagi,” katanya tersenyum sambil menyentuh pipiku sekilas.

“Tadi itu dari siapa?”

“Teman. Katanya dia ingin ke sini.”

Oh, jadi teman Dean ingin menjengukku. “Memangnya berapa orang ke sini?” tanyaku.

“Satu orang, Sea. Tidak apa-apa, kan?”

Aku hanya mengangguk. Dean menyipitkan mata, menatapku dan menaruh tangannya di pipiku, “Ada kotoran di matamu.”

Dahiku berkerut sekaligus terkejut, “Oh, ya,” kataku, aku menyingkirkan tangan Dean untuk langsung mengusap mataku.

Dean tertawa terbahak-bahak, aku jadi mempertanyakan mengapa Dean tertawa kecuali dia berusaha membohongiku. Aku mengerucutkan bibir, memukul tangan Dean hingga dia mengaduh kesakitan. “Aw, sakit Sea,” katanya.

“Kau membohongiku,” gerutuku. Aku berhenti memukul lengan Dean. Aku jadi merasa kesal dengannya dan berusaha untuk tidak memandanginya.

“Maaf,” katanya sambil tersenyum, “Harusnya aku tidak menjailimu. Kau mau, kan memaafkanku?”

“Pikir aja sendiri,” ujarku.

Dean meringis mendengat hal itu, “Aku salah,” katanya.

“Memang salah.”

“Aku harusnya tidak menjailimu dan tidak menetawakanmu tadi. Jadi aku minta maaf,” sesalnya, dia menarik napas, “Baiklah, apa yang kau minta akan aku turuti?”

“Sungguh?”

“Ya.”

Aku menutup mulut, dan berusaha agar tidak tersenyum. Aku berpikir lagi apa yang aku inginkan, dan aku tahu apa yang aku cari. “Belikan aku cokelat dan ...” kulihat bibir Dean tersenyum lebar sedikit tertawa, “Kenapa kau tersenyum? Memangnya aku salah?”

“Tidak Sea, tidak,” ucapnya, “Pemintaanmu hanya cokelat? Masa hanya segitu. Ada lagi?”

Aku berpikir lagi dan langsung meminta yang lain lagi pada Dean, sampai dia harus me-list pesananku di handphone-nya. “Oke, aku sudah mencatat pesananmu. Ada yang lain lagi,” katanya.

GATE OF DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang