2. HUJAN DI MALAM HARI

232 2 4
                                    

Boleh minta komen yang banyak di sini?

Oh iya, mau ngucapin makasih banget sama NurAfyani  karena sudah membaca novel ini :)

REMEMBER FOLLOW, VOTE AND COMMENT:) 


*

Aku melihat kembali gelang pasien yang terpasang di tanganku, aku jadi ingat waktu dulu, aku masih SD aku mengalami demam berdarah nenekku langsung membawaku ke rumah sakit, dan untungnya aku masih bisa di tangani. Dan sekarang—setelah bertahun-tahun lamanya aku di rawat lagi namun dengan rumah sakit yang berbeda dan gejala yang berbeda pula. Aku tidak tahu Tuhan ingin aku seperti apa? Aku masih menanyakan itu.

Tiba-tiba suara hujan pun datang, aku langsung menoleh, menatap jendela yang terbuka lebar. Aku paling suka hujan. Hujan yang tidak ada ada gemuruh atau pun petir, seperti sekarang. Aku melihat berita tadi sore, hujan di awal bulan memang selalu terjadi. Sayangnya, aku tidak bisa merasakan tetesan hujan karena aku ada di dalam rumah sakit, dan lagi aku cuma bisa memandanginya saja. Tetesan hujan memercik dari suaranya yang melankolis, ingin sekali aku keluar dari rumah sakit dan merasakan hujan yang sebenarnya. Pasti asyik sekali.

Aku tersenyum, jadi teringat, aku dan Nynda bermain hujan-hujanan di sekitaran rumah nenekku. Hujannya sangat deras hingga aku dan Nynda benar-benar di ada kolam berenang, walau kenyataanya tidak karena air mulai mereda. Aku seperti berenang dengan teman sebayaku, berteriak, dan bermain dengan mereka. Jika dunia film, adegan yang selalu muncul adalah perempuan selalu menangis karena alasan tertentu dan hujan pun datang menemani dirinya atau di lain pihak, perempuan dan anaknya harus keluar dari kontrakan karena tidak punya uang, mereka mencari tempat untuk bernaung karena hujan deras dan anaknya kesakitan. Tidak ada begitu yang bersenang-senang, walaupun ada paling bisa di hitung. Aku murung lalu tertawa jail, aku jadi bertanya-tanya apa Dean suka sekali dengan hujan atau tidak ya?

Aku terkejut karena seseorang menyentuh pundakku dan kulihat tenyata itu Dean. “Dari tadi aku memanggilmu, kau tidak mendengarnya?” tanya Dean.

“Maaf, dari tadi aku terus saja melamun,” kataku. Dean meletakkan kantung di nakas lalu duduk di kursi.

Dean memegang tangangku, “Harusnya aku tidak membeli makanan, daripada kau terus melamun untungnya kau tidak kesurupan.”

Aku menepis tangan Dean, “Tidak lucu tahu.”

“Baiklah, maaf,” katanya sambil tersenyum. “Apa yang kau lamun, kan?”

Aku ingin berkata jujur pada Dean namun jika aku ceritakan, dia akan menganggapku kekanak-kanakan jadi daripada aku cerita pada Dean tentang masa kecilku, sebaiknya dilupakan saja, toh, cerita itu bagi Dean hanya alunan yang enyah dalam sekejap, “tidak ada.”

“Yang benar?”

Aku harus mencari ide untuk tidak berbohong lagi, dan aku tahu itu, “siapa yang memberikan kantong itu? Sepertinya tidak terlalu berat.”

“Oh, ini,” katanya sambil membuka dan menunjukkannya padaku, “Poker. Aku menyimpannya di bagasi. Aku tidak tahu jika kartu itu masih ada.”

“Memangnya kau bermain dengan siapa saja?” tanyaku, mataku langsung memincing dan langsung menghadap Dean, “kau tidak bermain poker tanpa bertaruh, kan?”

“Tidak. Teman-temanku mengajakku untuk bermain dan tidak ada uang yang aku keluarkan. Aku dan teman-temanku bermain karena bosan ... atau mencari aktivitas lain,” katanya sambil mengangkat bahu.

Aku menghitung berapa kartu di sana hingga tiba-tiba Dean bertanya padaku. “Kau ingin bermain? Ah, kau tidak akan bisa,” katanya.

“Ya, aku tidak bisa bermain poker tapi aku bisa bermain cangkul. Waktu dulu aku dan teman-temanku bermain kartu. Namun aku tidak tahu caranya bermain Poker,” kataku sambil tertawa karena lucu. Dean tersenyum sambil memandangiku, “Aku dan teman-temanku bermain cangkul atau paling tidak bermain uno. Hanya itu yang kutahu.”

GATE OF DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang