Seseorang pasti memiliki momen pertama yang mendebarkan dalam hidupnya. Aku merasa jika sesuatu hal yang ingin kulakukan pada diriku versi baru ini selalu terasa menantang. Perasaan mendebarkan yang telah lama pergi kini kembali terasa. Aku ingat saat itu pertama kalinya memulai magang di suatu perusahaan. Aku hampir tidak bisa tidur sehari sebelumnya. Aku terus memikirkan bagaimana situasi baru yang harus kuhadapi esok hari. Jantungku terasa begitu berdebar. Aku takut, tetapi aku tidak bisa mundur. Aku harus tetap menjalani program magang tersebut.
Pagi harinya, aku berangkat dengan perasaan yang jauh lebih riang dari sebelumnya. Begitu aku tiba di perusahaan, entah mengapa aku lebih rileks dari sebelumnya. Aku rasa itu berkat kehadiran temanku juga di sana. Setelah melalui sesi pengenalan lingkungan kerja, rupanya aku terpisah dengan temanku. Di situ perasaan cemas dan rasa berdebar kembali menghinggapiku. Awalnya aku bersama temanku, tetapi kini aku menjadi seorang diri.
Sembari menanti kehadiran manajerku, aku duduk mengamati sekitar. Aku menerka-nerka, apakah para karyawan akan menyambutku dengan baik? Apakah nantinya aku akan dipandu dengan perlahan-lahan? Apakah lingkungan kerjanya akan menyenangkan? Aku takut dan cemas tanpa alasan.
Setelah manajerku datang, aku kembali berkeliling perusahaan. Kali ini aku lebih diperkenalkan secara mendalam pada setiap karyawan yang ada, juga dijelaskan posisi dan tugas-tugasnya. Begitu usai berkeliling, manajerku menempatkanku di salah satu divisi. Aku menerimanya dan menyapa para karyawan di sana. Tidak banyak, hanya terdapat lima orang dan semuanya laki-laki.
Bukannya lega, saat itu kecemasanku justru bertambah. Ketahuilah, aku jarang sekali berinteraksi dengan lawan jenis. Bahkan kepada teman satu kelas pun aku jarang mengobrol. Paling tidak hal yang kami bicarakan hanya sebatas tugas. Namun, situasiku saat itu berbeda. Aku harus berinteraksi dengan karyawan selama program magang itu berlangsung. Itu bukanlah waktu yang sebentar. Mau atau tidak, aku harus mencoba berinteraksi dan membuka diri. Jika tidak, aku akan dinilai anti-social dan membuat orang lain tidak nyaman berada di dekatku. Aku perlu mengingat kembali apa tujuanku saat ini. Aku ingin berubah. Jadi hal itulah yang menjadi landasanku dalam berubah selama proses menuju dewasa ini.
Hari pertama, hari kedua, hari ketiga, aku rasa belum ada perubahan yang terjadi. Aku masih diam dan mengamati sekeliling. Aku masih mencoba menerima lingkungan baru yang disuguhkan kepadaku. Setelah seminggu berlalu, aku mulai memahami lingkungan baru tersebut. Rupanya, para karyawan sangat terbuka denganku. Mereka membantuku, menyapaku dan berusaha mengajakku untuk berbicara. Aku sangat tersentuh dengan sikap hangat yang diberikan. Aku merasa diterima dengan begitu baik. Perasaan cemas berdebar yang kurasakan sebelumnya seketika lenyap dalam diriku. Aku menemukan keberanian baru kembali.
Setelah hal itu berlalu, aku menyadari jika kita tidak perlu cemas terhadap apa yang belum terjadi. Wajar jika kita merasa gugup hingga jantung terasa berdebar karena sesuatu hal baru yang akan dilakukan. Namun, jangan biarkan perasaan gugup dan cemas tersebut menghalangi langkahmu. Kita tidak akan tahu hasilnya jika tidak mencobanyanya, bukan? Jadi tidak apa-apa untuk mencoba dan sedikit merasa gugup. Karena itu akan menjadikan perjalananmu lebih menantang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (hampir) Menyerah ✔️ | END
Non-Fiction[SELF IMPROVEMENT] Jatuh-bangun dalam kehidupan itu hal yang biasa. Namanya juga hidup. Kita dituntut untuk berproses dan tumbuh dengan tidak baik-baik saja. Setiap orang tumbuh dewasa melalui prosesnya masing-masing. Ada kalanya proses tumbuh dewa...