6. Dandelion

629 41 2
                                    

"Terima kasih telah memberikan dekapan dan pundak untuk mereka. Disaat kamu juga butuh itu semua, Sa."
—Kamar untuk Sadewa, Bagian 6.

*Play mulmed (lagu sorai-nadin amizah)

Happy Reading

Langit membiru, menaungi setiap langkah kecil Sadewa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Langit membiru, menaungi setiap langkah kecil Sadewa. Menyapa beberapa anak jalanan yang biasa mangkal di lampu merah. Seperti biasa remaja laki laki itu akan mengeluarkan beberapa bungkus biskuit yang ia punya. Anak anak itu begitu hafal, menerimanya dengan senyum nan merekah. Menciptakan perasaan lega bagi Sadewa, setidaknya dari senyum mereka mampu membuat Sadewa terus merasa bersyukur.

"Kak Sadewa! Terima kasih banyak. Nanti sore jangan lupa ya, Kak?" Salah satu anak jalanan itu berbinar menatap Sadewa.

Sadewa sedikit membungkuk, tersenyum hangat sekali. Mengelus pelan pucuk anak jalanan itu—Hugo namanya. Usianya sekitar 9 tahunan, putus sekolah sebab hanya hidup dengan sang ibu yang sakit sakitan. Sadewa paham betul maksud dari Hugo. Dengan mantap Sadewa mengangguk.

"Iya. Nanti sehabis kakak pulang kerja, seperti biasa ya? Di pohon besar dekat danau, nanti kakak ajarkan membaca. Ajak teman teman yang lain juga, ya?"

Hugo dengan koran yang ia tenteng, bocah itu mengangguk antusias. Lalu berlari menyusul teman temannya. Sadewa hanya bisa tersenyum, melihat anak sekecil mereka bergelut dengan kerasnya dunia. Jangankan sekolah, untuk hari esok saja mereka tidak tahu bisa makan atau tidak.

Tiap hari minggu adalah kegiatan wajib bagi Sadewa, bekerja di toko kue milik Pak Jagat. Lalu bergegas menuju danau, tempat ia mengajari anak anak jalanan itu. Berbeda dengan Nakala yang mungkin akan menghabiskan banyak waktu bersama Kak Amar ataupun Om Yudis, sekedar meminum teh hangat atau bahkan bercengkrama di halaman belakang rumah.

Terkadang Sadewa memang ingin sekali ikut bergabung, namun mengetahui fakta bahwa melihat dirinya saja kak Amar benci. Sadewa lebih memilih untuk bekerja, mengumpulkan uang agar tidak merepotkan sang Kakak. Lebih lagi kali ini ia punya tanggungan untuk mengganti gitar milik sekolah yang rusak kemarin.

Seperti sekarang, baru saja ia masuk ke toko kue milik Pak Jagat, dirinya sudah disuguhi pemandangan seperti biasa. Pak Jagat yang hanya menggunakan kaos kutang itu tengah bersungut kesal, mengomel kepada Bang Janu, salah satu pegawainya juga.

"Bah! kau yang minum kopiku ini ya?" Sungut Pak Jagat dengan logat khasnya.

Bang Janu yang tengah mengelap meja itupun berdecak, sebab dirinya tak tahu apa apa.

"Aih si bapak saya dari tadi teh disini? Kan bapak yang minum barusan, saking asiknya baca koran sampai tidak sadar kopinya habis."

"Begitukah?" Beo Pak Jagat.

Sadewa terkekeh, membuat kedua lelaki itu menatap ke arah Sadewa yang kini sudah mengenakan celemeknya.

"Nak Sadewa? Sudah datang toh."

Kamar untuk SadewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang