4. Hujan dan Aira

729 39 2
                                    

"Hidup tidak berjalan sesuai kemauan kita, tapi hidup berjalan sesuai apa yang kita yakini."
—Kamar untuk Sadewa, Bagian 4.


Rumah besar itu terasa mencekam, Sadewa dan Nakala yang baru saja pulang sekolah merasakan hawa tidak enak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rumah besar itu terasa mencekam, Sadewa dan Nakala yang baru saja pulang sekolah merasakan hawa tidak enak. Kedua saudara kembar itu berjalan menunduk, sedang sang Kakak sudah duduk di sofa dengan kaki menyilang, mereka yakin Kakaknya itu tengah marah. Terlihat dari bagaimana laki laki itu hanya diam dengan tatapannya yang dingin.

"Nakala masuk kamar! Kakak ingin berbicara dengan berandal satu ini."

"Tapi kak, Sudah Nakala bilang Sadewa tidak salah. Ini semua kar—"

"Kakak bilang masuk kamar, Nakala!"

Mendengar nada tinggi dari Kakaknya yang tidak biasanya membentak itu, Nakala terdiam sejenak sebelum melangkah menaiki satu persatu anak tangga. Nampaknya Kak Amar benar benar marah kali ini. Selama ia hidup 16 tahun, baru kali ini Kak Amar membentaknya. Kak Amar bahkan tidak mau sedikitpun mendengarkan penjelasannya.

Sementara Amar menatap Sadewa dengan tatapan yang selalu ia berikan pada anak itu. Tatapan penuh benci, bedanya kali ini amarah Amar terlihat lebih berkali lipat dari biasanya. Sebab panggilan dari pihak sekolahnya tadi siang.

"Duduk!"

Sadewa menurut, laki laki itu duduk di sofa yang menghadap Amar. Ia sudah menyiapkan mental untuk hatinya agar nantinya kuat menerima amarah kakaknya yang siap meledak kapan saja.

"Siapa yang suruh lo duduk di sofa gue? Duduk dilantai!"

Lagi lagi Sadewa menurut, laki laki itu terduduk dilantai dengan menunduk.

"Kak maaf Sadewa hanya ingin melindungi Nakala." Dengan segala keberanian yang ia punya, Sadewa mencoba membuka suara berharap Kakaknya akan mengerti.

Brakk

Amar menendang meja dihadapannya hingga berhasil membentur kepala Sadewa, darah segar mengalir dari pelipis Sadewa. Rasanya sangat pening, kala bau anyir itu mulai menusuk indra penciumannya.

Sadewa merasakan Amar mendekat, laki laki itu mengangkat kerah seragam Sadewa hingga anak itu terangkat.

"Nggak usah bawa Nakala sebagai alasan buat kenakalan yang lo buat!" Gigi Amar bergemelatuk, sedetik kemudian ia melayangkan pukulan di perut Sadewa.

Sadewa meringis meremat perutnya, rasanya teramat sakit. Bulir bening yang selalu ia tahan kini berjatuhan dengan deras. Ia menggigit bibir bawahnya agar isakannya tidak terlalu keras.

"K-kak Sa—kith... Ampunh."

Mendengar rintihan Sadewa yang demi apapun sangat memilukan bagi siapapun yang mendengarnya. Namun Amar seakan menuli, ia tampar Sadewa lalu menjatuhkan anak itu hingga terduduk lemas. Ia mensejajarkan tubuhnya dengan Sadewa, ia cengkeram kuat kedua pipi anak itu.

Kamar untuk SadewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang