2. pembohong hebat

953 53 1
                                    

"Kita hanya perlu bersyukur, untuk bisa merasakan jika hidup itu memang adil."
-Kamar untuk Sadewa, Bagian 2.

Lonceng sebuah toko kue berbunyi, tanda seseorang baru saja keluar dari sana

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lonceng sebuah toko kue berbunyi, tanda seseorang baru saja keluar dari sana. Memperlihatkan remaja laki laki yang berjalan tertatih dengan bantuan tongkatnya. Seragam SMA-nya bahkan masih melekat. Ia menatap langit yang nampak lebih gelap dari biasanya, tidak ada bintang atau bulan yang menamapkan dirinya. Ternyata sudah selarut ini.

"Sadewa!"

Seruan itu membuat ia menoleh, mendapati pria paruh baya yang masih mengenakan celemek, menghampirinya dengan nafas tak beraturan. Pria paruh baya itu, Pak Jagat sang pemilik toko kue.

"Ada apa, Pak? Kenapa bapak berlarian seperti itu?"

Pak Jagat tersenyum mendengar nada khawatir dari Sadewa. Pria paruh baya itu menyodorkan amplop kecil berwarna coklat.

"Ini upah kau bulan ini. Maaf ha kemarin bapak lupa, baru kasih kau sekarang." Kata Pak Jagat dengan logatnya yang khas.

Sadewa menerima amplop itu, lalu tersenyum kepada Pak Jagat. Pria paruh baya yang sudah berbaik hati mengizinkannya berkerja paruh waktu di toko kue miliknya.

"Tidak apa apa, Pak. Terima kasih banyak ya, sudah mengizinkan Sadewa bekerja di toko milik Bapak."

"Sama sama, Nak. Bapak salut sama kau, masih sekolah tapi tidak malu untuk bekerja paruh waktu. Ayah dan Ibu kau pasti orang hebat ya? Mereka pasti bangga sama Sadewa."

Sadewa tersenyum kecut lalu mengangguk, "Iya Pak, orang tua Sadewa sangat hebat."

"Mereka pasti bangga melihat Sadewa dari atas sana." Lanjutnya dalam hati, rasanya sesak seperti banyak luka yang menumpuk.

"Andai anaku nurut seperti kau ni pasti senang lah aku." Pak Jagat menepuk pundak Sadewa,

"Sudah sana pulang. Keburu semakin larut." Lanjutnya.

Sadewa mengangguk lalu segera bergegas pulang. Jam sudah menunjukan pukul 9 malam, sudah jarang ada bus yang lewat. Sadewa mempercepat langkahnya takut sang Kakak marah sebab ia selalu pulang larut malam.

Bukan apa apa, Sadewa bekerja karena ia tak mau membebani sang Kakak. Meski Kakaknya seorang CEO dan terbilang cukup sangat mampu. Namun Sadewa tidak pernah meminta uang saku ataupun semacamnya. Ia berusaha menghasilkan uang sendiri, walaupun tidak seberapa. Terkadang ia bekerja sangat keras demi mengumpulkan uang untuk kemoterapi. Pernah suatu waktu ia meminta sang Kakak untuk mengantarkannya kemoterapi, jutsru yang ia dapat hanyalah makian dan pukulan.

"Lo tuh nggak usah ngelunjak! Masih syukur gue mau biayain lo sekolah. Nggak gue buang lo kepanti, harusnya lo sadar! Ayah meninggal gara gara nganter lo kemoterapi. Dasar cacat! penyakitan, nyusahin aja bisanya!"

Sadewa menghela nafasnya, dadanya terasa sakit ketika mengingat segala perkataan Amar yang terdengar menyakitkan baginya. Tapi terlepas dari itu, Sadewa yakin jika Kakaknya sangat menyayanginya dan sudah melakukan yang terbaik setelah melewati masa sulitnya.

Kamar untuk SadewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang