Antartika ✧ 03

59 13 4
                                    

✧

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.









"Nak Giyo" panggil guru yang sedang mengajar di kelasnya.

"Ada apa pak?"

"Tolong antarkan ini ke kelas Dua belas satu" ucap sang guru dengan menunjuk setumpuk buku yang berada di hadapannya.

"Sekarang pak?"

"Tidak, tahun depan"

"Yasu--"

"Sekarang Giyo!" ucap guru itu dengan nada kesalnya.

Seisi kelas terkekeh geli melihat interaksi antar guru dan pemuda lucu itu, bahkan cakra menahan tawa menggelegar nya yang bisa kapan saja keluar saat melihat wajah gurunya yang sedang menahan kesal pada Giyo, sedangkan Divan hanya menggeleng pelan melihat tingkah jahil Giyo yang memang sangat menyebalkan.

Giyo menampilkan cengiran lucunya hingga membuat guru itu menghela nafas panjang, Giyo terlalu lucu untuk dia marahi. Selalu saja menggemaskan.

"Cepat antarkan ini"

"Iyaa pak" Giyo kemudian berdiri dan segera membawa tumpukan buku itu keluar kelas untuk mengantarkan nya ke tujuan.

Belum sampai satu menit kepergian pemuda manis itu, Cakra sudah merasa bosan dan jenuh karena tidak ada yang bisa ia jahili, ia ingin menjahili Divan tapi nanti malah dia yang terkena tekanan batin.

Cakra meletakkan kepalanya di atas meja mengacuhkan guru di depan sana yang sudah menjelaskan panjang lebar namun tak ia dengarkan, tangannya dengan asal mengetuk ngetuk meja dengan nada berantakan. Divan menyadari bahwa temannya itu hanya diam akhirnya melemparkan penghapus kearah Cakra dan berhasil membuat pria itu bangun dengan mengerutkan keningnya seolah bertanya 'ada apa' kearah Divan.

"Dengarkan penjelasan di depan bodoh!"

"Bosan" ucap Cakra lalu kembali meletakkan kepalanya di atas meja.

"Giyo mengantar buku belum genap Dua menit sialan, mood mu cepat sekali berubah"

"Harusnya tadi aku ikut saja dengan anak itu"

"Diamlah! sebentar lagi dia kembali" Divan memutar bola matanya malas melihat tingkah aneh salah satu temannya itu.

Dia seperti tak bisa hidup jika tak ada Giyo, tapi miris nya Giyo selalu meninggalkan nya tanpa rasa kasihan, maka dari itu motto hidup Cakra sekarang adalah 'Kemanapun Giyo pergi, dia juga akan ikut pergi'. Layaknya sepasang anak kembar, jika Giyo sakit maka keesokan harinya Cakra juga akan ikut sakit, entah itu di sengaja atau tidak tapi itulah yang terjadi selama ini.

Bahkan Divan sempat mengira Cakra dan Giyo adalah saudara yang terpisah, tapi mereka nyatanya tak memiliki hubungan darah sedikitpun, Cakra saja yang terlalu menempel pada Giyo.

Giyo berjalan dengan cepat menaiki tangga untuk segera menuju ke lantai dua karena seluruh jajaran kelas dua belas berada di lantai atas.

Ia menghela nafas panjang saat telah tiba di atas sana, melelahkan sekali rasanya menaiki puluhan anak tangga itu.

Sekolah ini tak berniat memasang lift saja?

Ia mendongak keatas melihat tanda pada setiap kelas, setelah ia menemukan kelas yang ia tuju akhirnya dia mengetuk pintu dengan pelan agar terlihat lebih sopan, lalu ia membuka sedikit pintu itu.

"Siapa?" tanya guru yang sedang mengajar di dalam sana saat melihat Giyo sedang menyembulkan kepalanya di sela sela pintu itu.

Semua mata dalam kelas itu kini tertuju padanya, bisikan demi bisikan terdengar di dalam sana, lontaran berbagai kata menggemaskan tertuju padanya.

Namun hanya satu orang yang terlihat hanya diam memandangi nya seolah tak peduli dan kembali mengalihkan pandanganya.

"Maaf mengganggu waktu anda buk, saya disuruh sama pak Andy untuk mengantarkan buku buku ini" ucapnya yang kini sudah berdiri sempurna di ambang pintu.

"Kemari, letakkan saja di atas meja ini" titah guru itu pada Giyo.

Ugh, Malu sekali rasanya dilihati seperti itu, Giyo seperti akan di makan hidup hidup di dalam sana.

Setelah meletakkan buku buku yang di bawanya tadi di atas meja guru, akhirnya giyo membungkuk sopan dan segera pamit untuk pergi.

Jika berlama-lama disini sepertinya dia akan segera menjadi santapan tatapan mengerikan dari kakak kakak kelasnya.

Padahal Giyo tidak tau kalau mereka semua memandangi Giyo dengan tatapan gemas karena ekspresi ekspresi lucu yang di keluarkan oleh pemuda manis itu.

Sebelum Giyo benar benar pergi, matanya sempat bersitatap dengan mata tajam milik lelaki tampan di ujung sana, jelas saja Giyo kenal dengan orang itu.

Dia si Gunung Es yang tidak sengaja dia peluk kemarin.

Jauh di dalam lubuk hati pemuda manis itu, tersirat rasa penasaran pada lelaki tampan yang sering mendapat julukan 'Antartika' itu, sepertinya dia harus mengajaknya berteman.

Wiliam sendiri hanya memandangi kedatangan dan kepergian Giyo dalam diam, ia tak pernah ingin tau tentang apapun, tapi mengapa ada sesuatu yang aneh saat ia kembali melihat pemuda manis itu?

Setelah kepergian Giyo kelas mulai kembali tenang seperti biasa, Giyo memang sudah populer di sekolahnya karena perawakan nya yang menggemaskan dan terlebih lagi dia sangat manis ketika tersenyum, anak itu selalu ceria, dia di sempurnakan lagi oleh kedua teman tampannya yang selalu setia menemani nya kemana mana bak seorang ratu yang di jaga oleh kedua pangeran.

Wiliam diam sejenak sebelum telinganya kembali menangkap pembicaraan bangku di depannya yang sedang membicarakan pemuda manis tadi, dia ingin kembali mengacuhkan nya tetapi pendengaran nya berkata lain, dia terus mencoba mendengarkan dengan seksama pembicaraan itu.

'Iya kan, aku juga mengira cakra adalah pacarnya'

'Dia lebih cocok dengan Divan'

'Tidak tidak, Divan itu cocok menjadi kakak nya'

'Kalian ini bicara apa sih, Giyo kan pacarku'

'Kau sedang bermimpi ya?'

'Kalau begitu aku dengan Cakra'

'Aku Divan'

'Hahahaha berkhayal saja terus'

'EKHM KALIAN YANG DISANA SEDANG APA?! TIDAK MENDENGARKAN PENJELASAN IBU?'

Semuanya kembali diam.













































_________________
TBC.

ANTARTIKA [Hamlem/Wonjun/Pingpongz] (Wonjin x Hyeongjun)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang