Selamat membaca!
Albi menggendong tubuh Jema ala bridal style dengan tergesa-gesa menuju UKS. Ia membaringkan tubuh Jema di brankar dan menyuruh anak-anak PMR yang masih berjaga di tempat itu untuk memeriksa keadaan Jema.
"Gue gapapa kok, gak perlu sampe pake stetoskop segala," tolak Jema begitu salah satu PMR ingin memeriksa detak jantungnya dengan alat medis bernama stetoskop.
"Yasudah. Ada yang kerasa sakit gak? Kalo ada bilang aja, ya," ujar salah satu PMR itu ramah.
Jema hanya mengangguk. Walaupun memang ada rasa sakit yang terus menyerang kepalanya, ia lebih baik memilih untuk menenangkan diri. Jema masih tak percaya kalau dirinya bisa berkelahi dengan kakak kelasnya Aurora.
Dulu saja, waktu Aurora sering mengganggunya karena masalah dengan Sebastian, Jema tak pernah berani melawan. Ia hanya bisa diam dan menerima apapun semua perlakuan mereka.
"Lo gak salah, Jema, lo gak salah ... Mereka yang salah ... Mereka yang udah ganggu lo selama ini ..." lirih Jema dengan suara terisak karena kembali menangis.
Sungguh sesak mengingat kejadian dulu bagaimana perlakuan Aurora terhadapnya begitu jahat. Dan kali ia sangat puas karena bisa membalas perlakuan Aurora yang semena-mena itu dengan tangannya sendiri.
"Lo emang gak salah, Jem. Lo gak salah," timpal Albi yang ternyata masih berada di dalam UKS.
Laki-laki itu berdiri di dekat ambang pintu sambil menyender ke tembok. Kedua tangannya ia lipat di depan dada, dengan kepala menoleh ke samping menatap Jema dari kejauhan.
"Biru? L-lo masih di sini?" Jema berusaha bangkit dari tidurnya. Ia menjadi malu karena dari tadi dirinya terus meracau sendiri sambil menangis. Ternyata semua yang ia ucapkan Albi mendengar dan melihatnya dengan jelas.
Sementara itu, Albi berjalan mendekati brankar tempat Jema. Ia ikut duduk di tepi brankar itu sembari menatap lekat wajah Jema yang sudah memerah seperti kepiting rebus.
Albi akui kalau dilihat dari dekat, Jema itu cantik. Apalagi melihat alis hitam yang membingkai indah di dahinya, bulu mata lentik menghiasi kelopaknya, ditambah hidung mancung bagaikan perosotan taman kanak-kanak menempel apik pada pahatan wajahnya.
Ia merasa kalau Jema adalah salah satu makhluk ciptaan tuhan yang sempurnanya melebihi kata sempurna.
"Jadi, selama ini Aurora selalu ngeganggu lo separah itu?" tanya Albi dengan suara lembut.
Sebelah tangannya naik mengusap pipi tirus Jema yang sedikit basah. Kemudian beralih merapikan rambut hitam gadis itu yang terlihat sedikit berantakan.
Jema hanya mengangguk menanggapi ucapan Albi. Walaupun selama ini ia selalu menceritakan pengalaman tak enaknya begitu naik ke kelas XI kepada laki-laki itu, Albi tak pernah tahu kalau Aurora selalu mengganggunya lebih dari yang dia tahu.
Jema takut kalau ia bersuara lebih panjang lagi perlakuan Aurora terhadapnya menjadi semakin tak bersahabat. Maka dari itu ia mencoba menyembunyikannya.
Dan alasan mengapa dirinya selalu meminta Bastian untuk menjauhinya dan membenci dirinya salah satunya karena masalah ini.
Sumber masalah yang terjadi selama bulan-bulan terakhir itu berpuncak dari Sebastian. Tak hanya soal Aurora saja yang timbul masalah karena Bastian menyukainya.
Tapi, ada banyak masalah bahkan dengan anak-anak OSIS dan guru-guru saja ada. Begitu rumor tentang pacaran dirinya dengan Bastian waktu itu, di sanalah mulanya semua masalah selama ini pertama kali terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Is Love Unrequited?
Teen Fiction"Ironisnya walaupun kita dekat, tetapi belum tentu kita berakhir terikat." ~ Kyana Jema Cover by: Pinterest