|2. Senja Membawa Luka

326 43 23
                                    

"Senja memang indah. Namun luka yang ia berikan sedalam samudra."

-
-
-
-
-
-
-

Sejak hari itu, kini semuanya berubah. Hanya karena 1 kesalahannya.

Halilintar sadar diri. Dia memang lalai untuk menjaga Thorn. Harusnya, Halilintar tidak membiarkan Thorn mengambil kucing itu. Kalau tau akhirnya akan seperti ini..

Masih teringat jelas dibenaknya saat di mana sang Adik terkapar lemah tak berdaya di bawah genangan darahnya sendiri. Dan masih teringat jelas bagaimana Solar yang menjerit-jerit sambil menangis sembari memeluk tubuh Thorn yang bersimpah darah dengan erat.

Tamparan keras yang ia terima dari Gempa, tatapan tajam penuh amarah dari Blaze, tatapan penuh kebencian dari Ice, serta tatapan tak percaya dari Taufan.




"Bajingan!"

"Brengsek! Ini semua gara-gara lo!"

"Kakak macam apa lo yang bahkan gak bisa jagain Adik sendiri!!?"

"Lo Kakak paling sialan yang gue punya!!"

Kata-kata itu terus menghantui pikiran Halilintar.

"Bunda.. Ayah.. yang mereka katakan benar. Aku memang sialan, brengsek, bajingan.. Kakak macam apa aku? Aku bahkan tidak bisa melindungi adikku sendiri.." Halilintar menggantung kalimatnya.

"Thorn koma karna aku. Semua ini gara-gara aku!"

Halilintar memandang ke arah langit senja dengan air mata yang mulai mengalir membasahi pipi tirusnya.

"Senja memang terlihat indah. Namun luka yang dia berikan sedalam samudra." Lirih Halilintar.

Tik.. tik..

Hujan mulai turun membasahi bumi. Membasahi tubuh rapuh si manik ruby itu. Sepertinya alam pun ikut merasakan kesedihannya.

Halilintar menunduk. Membiarkan dirinya diterpa oleh hujan. Membiarkan tubuhnya kedinginan tanpa pelindung apapun.

Namun yang tidak Halilintar ketahui adalah, ada seseorang yang berada di belakangnya. Seseorang itu berjalan mendekati Halilintar kemudian memayungi Halilintar dari belakang.

Halilintar yang tidak lagi merasakan tetesan hujan pun membuka matanya lalu berbalik melihat ke belakang.

Terlihat Taufan yang berada di belakangnya dengan mata sembab akibat terlalu lama menangis.

"Lo gak usah nyalahin diri lo sendiri, Iel. Ini semua bukan salah lo. Thorn bakalan baik-baik aja. Lo gak usah khawatir." Ucap Taufan dengan suara serak.

Halilintar diam tak menjawab. Taufan yang melihat itupun membuang payung yang berada di tangannya dan langsung menerjang tubuh Halilintar lalu memeluknya dengan erat.

Tak peduli jika nanti pakaiannya juga ikut basah karena hujan. Karena baginya, yang terpenting sekarang adalah.. mengembalikan jiwa yang rapuh kembali pada jiwanya yang gagah berani.

Halilintar terkejut. Namun ia juga merasa nyaman dalam posisi ini. Perlahan tangannya bergerak untuk membalas pelukan hangat si manik shappire.

"Thanks, Biru." Lirih Halilintar.

"You're welcome, Iel." Balas Taufan.

Mereka berpelukan cukup lama hingga akhirnya Taufan yang mengakhiri pelukan mereka.

Selang beberapa menit, Halilintar memanggil Taufan.

"Biru." Panggilan dari Halilintar dijawab dengan deheman oleh Taufan seakan menunggu pertanyaannya.

"Lo benci gue ga? Kayak yang lain." Manik ruby itu menatap lekat ke arah sang manik sapphire.

Taufan hanya tersenyum sembari menggeleng pelan. "Tidak, dan tidak akan pernah."

"Please, jangan nyalahin diri lo lagi, ya? Ini bukan salah lo, ini takdir." Sambungnya.

"Tapi, gue ninggalin Thorn di belakang, harusnya gue megangin tangannya kan waktu nyebrang?" Sesal Halilintar.

"Ga harus seperti itu, Thornie udah gede. Sayangnya karna kucing itu, Thorn jadi hilang fokus dan ga lihat kanan kiri."

Halilintar diam tak berkutik.

"Pulang ya, Iel? Pegel nih tanganku megangin payung mulu." Ucapnya diselingi tawa ringan.

Halilintar tersenyum kecil dan berjalan pulang bersama Taufan. Setidaknya ia sudah lebih lega dari sebelumnya.

BACKREST

Saat mereka berdua pulang kerumah, mereka disambut tatapan tajam dan bisikan oleh saudara  mereka yang lain, ah tidak... Bukan mereka berdua, lebih tepatnya tertuju ke Halilintar.

Halilintar berjalan ke kamar lebih dulu, berusaha mengabaikan seluruh kata kata yang mereka lontarkan.

Sedangkan Taufan berjalan mendekati mereka. Blaze memulai pembicaraan.

"Kak Upan kok mau sih deket-deket sama dia? Ga takut bakal berakhir kayak Thorn?"
Memang ya, Blaze kalau sudah benci, omongan nya tidak akan bisa di rem.

"Kalian ngomongin apa sih? Itu semua bukan salahnya–" Belum juga Taufan selesai berbicara, ucapannya sudah dipotong oleh Solar.

"Jadi, Kakak membelanya?"

"Kakak macam apa dia yang meninggalkan Adiknya sendiri di tengah jalan? Gak peduli dengan Kak Thorn apa gimana?" Sambungnya.

Taufan ingin menjawab, tapi saudaranya yang lain sudah pergi meninggalkannya dengan berbagai ekspresi. sedih, kecewa, hancur, marah, dan kesal, semuanya menjadi satu. Taufan tak bisa menghentikan mereka.

"Iel, maaf." Lirihnya.

                     

BACKRESTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang