EMPAT

136 22 0
                                    


"Obat rindu adalah bertemu, sedangkan aku dan bunda Tidak bisa bertemu, Lantas bagaimana caraku untuk mengobati rasa rindu ku?,"

———

Jika kemarin bermain hujan bersama, saat ini aku duduk di sebelah Laras. Kita sedang berada di kantin, di depanku Noey yang sibuk bercerita, sedangkan aku hanya menyimak sembari menikmati mie ayam buatan Bu Nunung. Jangan heran, aku memang sesuka itu dengan mie ayam, Juga dengan manusia di sebelah ku. 

"Dia gak peka anjir. Padahal ya gue sama dia sering banget eyes kontak," Ucap Noey.

"Dia peka, cuman bukan Lo yang dia mau," Sahut Anggi ada benarnya.

Noey itu mencintai teman sekelasnya, dia tetanggaku. Seorang laki-laki yang sejak bayi sering bermain bersamaku. Namun, aku sama sekali tidak menyukainya. Menyukai dia banyak resikonya, juga banyak saingannya.

"Terus gue gimana Noey?," Tanya Laras kepada Noey.

Noey menggeleng kepalanya tidak tau. "Lo aneh, suka sama Reza, Tapi belum bisa ngelupain Bian," Jawab Noey.

Aku baru ingat. Laras menaruh hati pada laki-laki kelas XII IPS A. Katanya cowok itu sangat dingin, hingga mampu membuat Laras jatuh hati padanya, Namanya Reza. Dan Bian, cowok itu sudah lama Laras sukai, sejak dia masih duduk di kelas 9 sekolah menengah pertama. Namun, Bian Harus pergi meninggalkan kota ini untuk menuntut ilmu agama.

"Terus gue apa anying?. Gue jatuh cinta cuman dapet jatuh nya doang, cintanya engga," Ucap ku.

"Lagian Lo berjuang Sendirian." Balas Kezia—Sahabat Laras sedari masih bayi.

"Lagian Lo gak mau kasih tau siapa yang Lo suka. Siapa tau kita bisa bantu," Kata Noey.

Sebenarnya aku sudah ingin mengatakan ini sejak lama kepada teman-teman ku, tapi aku hanya takut mereka menjauhiku. Aku takut mereka kecewa padaku.

"Ciri-cirinya aja deh," Lanjut Noey.

"Beat putih. Bukan kelas kita," Jawab ku.

"IPA C?, Atau IPA D?, Atau anak IPS?," Tanya Zura.

Aku tersenyum pada mereka. "Bisa jadi," Jawab Ku yang kemudian membuat mereka menolehkan pandangannya dari wajah ku.

"Kepet emang nih anak!," Damprat Anggi kepalang emosi.

***

Aku menatap gundukan tanah di depan ku, taburan bunga menghiasi tanah merah itu, entah siapa yang baru berkunjung ke rumah bunda.

Aku mengusap lembut nisan itu. Memberikan doa kepada bunda yang sudah di pangkuan tuhan.

"Bun... Aku sama dia segamungkin itu ya?," Tanya ku pada bunda yang mustahil di jawab olehnya.

"Papa juga berubah sama aku, kemarin aku di kurung di gudang sampai pagi. Aku kelaparan Bun... Papa gak mau buka pintu sebelum subuh," Curhat ku pada bunda.

Dulu, bunda selalu mengatakan pada ku seperti ini, 'dulu, kamu ini anak yang paling di tunggu sama papa'. Tapi buktinya apa?, Bukan kasih sayang yang aku dapatkan setelah bunda pergi, melainkan penderitaan yang terus papa lakukan pada ku.

Aku sempat ingin mengakhiri hidup ku sebelumnya. Simpul tali yang menggantung sudah siap untuk mengakhiri hidup ku. Namun, selalu ada kalimat dari bunda yang membuat aku sadar, kalau mati bukan keputusan yang tepat untuk menyelesaikan sebuah masalah. 'jangan mati di tangan sendiri,'. Kata bunda beberapa tahun silam setelah kita melihat berita tentang anak muda yang bunuh diri.

Cerita NoeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang