Btw ini belum masuk bab 1, ini baru bab-bab pembukaan.
***
Penduduk Umbulwulan dan Candiwulan dibuat kebingungan cenderung takjub dengan apa yang mereka lihat. Dari kejauhan— yang mereka yakini itu tepat di atas tanah Wulandira, tiba-tiba saja turun hujan gerimis selama berhari-hari setelah puluhan tahun lamanya tidak ada hujan di sana. Bahkan yang biasanya saat malam hari mereka bisa melihat siang dengan sinar matahari yang begitu terik di atas tanah Wulandira, mereka sudah tidak melihatnya lagi.
“Mungkin sang penguasa malam sudah mencabut kutukannya,” gumam salah seorang laki-laki tua sambil mengikat kayu bakar yang baru saja ia kumpulkan di tengah hutan.
Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi bagaimana kisah tanah Wulandira sebelum hukuman itu menimpa warganya. Kisah itu selalu didongengkan, berawal dari para penduduk yang ketika itu menyaksikan langsung— juga warga asli Wulandira yang mengungsi, turun temurun ke anak cucu dan terus diceritakan hingga ke generasi sekarang. Terhitung sudah hampir seratus tahun lamanya tapi kisah tanah Wulandira masih menjadi cerita menarik untuk didengar bagi anak-anak kecil yang penasaran dengan matahari yang tetap ada di atas tanah Wulandira padahal di daerah mereka sedang malam hari.
Dan kejadian hujan turun selama berhari-hari yang sedang berlangsung di atas tanah Wulandira, kelak menjadi kisah baru yang akan diceritakan kepada anak cucu mereka.
°°°°°
Ternyata butuh waktu berhari-hari bagi hujan untuk menyirami tanah Wulandira agar kembali seperti sediakala. Tanah itu terlalu panas bahkan membara sampai-sampai warga Umbulwulan yang terletak di selatan Wulandira dan warga Candiwulan yang berada di sebelah utara harus menggeser wilayah perbatasan hingga belasan kilometer untuk menghindari hawa panasnya yang menyengat. Namun akhirnya setelah hampir satu bulan hujan turun, kini suhu tanah Wulandira kembali normal, hawa panas yang membakar berubah menjadi dingin.
Lantas berbondong-bondong puluhan warga, laki-laki dan perempuan, dari arah Umbulwulan dan Candiwulan— ada yang menaiki kuda, gerobak dan sapinya, kerbau, bahkan berjalan kaki demi ingin menyaksikan langsung meski masih ada rasa takut dalam diri mereka.
Ya, bagaimanapun panas di daerah Wulandira masih jadi tanah yang mengerikan bagi warga sekitar. Bahkan mereka menyebutnya tanah neraka. Warga khawatir hujan yang tiba-tiba turun merupakan salah satu kengerian atau kutukan yang nantinya melanda tanah Wulandira. Namun rasa penasaran warga mengalahkan rasa takut, mereka datang meski tidak berani melewati perbatasan— ada yang naik ke atas pohon, bahkan ada yang mencoba lari ke bukit agar bisa melihat lebih jelas apa yang terjadi dengan tanah Wulandira.
“Sepertinya kutukan tanah Wulandira memang sudah dicabut,” ucap seorang laki-laki asli penduduk Candiwulan. Laki-laki itu sedang berada di atas pohon dan melihat tanah Wulandira tidak lagi membara. Bahkan hawa panas yang menyengat tidak lagi terasa meski lelaki itu berada di jarak yang cukup dekat.
“Kita harus kasih tahu Baginda raja,” sahut laki-laki yang juga berada di pohon yang sama. “Beliau pasti senang karena tanah nenek moyangnya sudah subur lagi.”
Memang, awalnya sebagian kecil warga Wulandira yang mengungsi ke daerah Candiwulan statusnya hanya sebagai pendatang. Namun karena salah satu warga Wulandira memiliki kekuatan dan kepandaian akhirnya mereka bisa membangun sebuah kerajaan yang kemudian dinamai dengan kerjaan Wijayakusuma. Bahkan penduduk asli Candiwulan hanya dijadikan sebagai abdi istana dan pengawal saja.
“Ayo, kita ke istana sekarang.”
Dua laki-laki bertelanjang dada dan hanya memakai kolor rompang berwarna cokelat itu turun dari pohon lantas bergegas ke istana meninggalkan orang-orang yang masih ingin melihat tanah Wulandira.
KAMU SEDANG MEMBACA
PESONA PRAHARA {Legenda Tanah Wulandira}
FantasiBL-Mpreg, dengan latarbelakang Kerajaan. Fantasi, semua apa yang ada di dalam cerita ini adalah fiktif. Tidak ada di dunia nyata. Jika ada kesamaan tokoh, tempat, dan kejadian, itu hanya kebetulan saja. Cerita ini saya buat hanya untuk menghibur sa...