Bab 4

568 82 17
                                    

Sejak Pesona dan putri Prameswari naik ke kereta kencana, hingga sudah setengah perjalanan berlalu, mulut keduanya terkunci, menciptakan suasana hening dan hanya terdengar suara kaki kuda dan roda kereta yang melindas jalan terjal yang membuat tubuh keduanya seolah bergoyang-goyang.

Sambil memandangi putri Prameswari yang duduk dan menundukkan kepala di depannya, Pesona membuang napas gusar. Ia lantas mengalihkan tatapannya ke atap kereta, terdiam dan menerawang. Pada waktu yang bersamaan lelaki itu tengah merasakan canggung sekaligus lega; lega lantaran akhirnya ia tidak perlu repot-repot menyiapkan mental, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan tentang perasaannya yang rencananya akan ia ungkapkan lebih dulu kepada putri Prameswari. Ternyata tanpa ia ketahui sang putri telah menguping poin pembicaraannya dengan guru besar Sentana. Namun hal itulah yang membuat ia jadi merasa canggung, serba salah di hadapan putri Prameswari untuk pertama kalinya sejak Pesona tinggal di kerajaan, dua belas tahun lalu. Padahal sebelumnya keduanya begitu akrab, kadang terlihat seperti sahabat, kadang seperti saudara kakak beradik.

“Kakang sudah punya perempuan pilihan sendiri?” cetus putri Prameswari tiba-tiba dan sontak membuat Pesona tersentak sampai langsung mengalihkan perhatian padanya. “Siapa dia, Kang, apa aku kenal?”

Pesona terdiam dalam kebimbangan yang merasuki jiwa nya. Sungguh, ia sangat ingin berkata jujur, mengatakan pada putri bahwa ada perempuan lain yang sudah mengisi hatinya, meskipun perempuan itu bukanlah manusia. Namun ia merasa ini bukan saat yang tepat, ia takut kejujurannya malah akan menambah luka di hati putri Prameswari.

“Tidak ada perempuan lain, tuan putri. Tapi... aku hanya menyayangi tuan putri sebagai adik.”
Putri Prameswari terisak, dan air matanya kembali luruh. Rupanya selama ini ia telah salah menilai, atau mungkin terlalu percaya diri karena menganggap Pesona juga mempunyai perasaan yang sama padanya. Kini ia merasakan sakit berlipat ganda setelah kenyataan pahit nampar keras dirinya.

“Aku juga sayang sama kakang,” ungkap sang putri sambil mengusap air mata. “Cuma sayangku ini beda, sayangku sama kakang lebih dari sekedar sayang biasa. Sayang karena ingin memiliki. Aku ingin, kelak panggilan ku sama kakang berubah menjadi kanda. Kakang tau, cinta sama kakang—”

Mengangkat kepalanya, putri Prameswari terdiam menatap wajah Pesona dengan bantuan cahaya temaram dari lentera yang terpasang di sudut atas kereta kencana.

“Kang,” panggil sang putri kemudian. “Jika memang bukan aku perempuan yang menjadi tujuan hidup kakang, aku rela walaupun hanya dijadikan sebagai tempat persinggahan. Suatu saat, kakang boleh melanjutkan perjalanan, pergi meninggalkan aku kalau kakang sudah menemukan perempuan yang menjadi tujuan hidup.”

Pesona menelan ludahnya susah dan terdiam seribu bahasa. Sedalam itukah cinta sang putri padanya hingga rela meski hanya dijadikan tempat singgah. Tapi bukankah itu nantinya malah akan membuat hatinya makin terluka.

“Demi ayahanda, demi kelangsungan kerajaan Wijayakusuma, tolong menikahlah denganku. Aku rela meski tidak ada cinta di hati kakang buat aku.”

°°°°°

Pesona sedang duduk melamun di tepi jembatan papan yang pernah ia bangun bersama Floryna, di atas permukaan danau. Permintaan putri Prameswari membuat ia bimbang, hatinya resah hingga wajahnya terlihat murung. Sebagai laki-laki yang teguh pada prinsip, tentunya ia sangat bertentangan dengan keinginan sang putri, tapi ia juga tidak bisa lupa, raja Amung Wasa dan kerajaannya lah yang sudah mengangkat namanya menjadi besar seperti sekarang. Ia merasa seperti tersudut, jasa sang raja membuat ia merasa berhutang budi.

“Aduh.”

Batu kecil yang tiba-tiba saja mengenai pergelangannya sukses mengagetkan Pesona dan lamunannya membuyar. Laki-laki yang kini mengenakan pakaian seperti rompi dan lengannya diikat dengan tali seperti tambang itu, celingukan mencari siapa pelaku yang telah melempar dirinya. Namun begitu ia menoleh ke arah pohon Fetus Duripa, ia tersenyum melihat putri Floryna sedang duduk di ayunan sambil memangku Rengganis. Tidak salah lagi, perempuan cantik itulah yang baru saja menjahili dirinya.

PESONA PRAHARA {Legenda Tanah Wulandira}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang