Meski masih kecil tapi Pesona tahu bagaimana cara membalas budi. Terutama pada guru besar padepokan Sentana yang telah menampung dirinya sejak kedua orang tuanya meninggal ketika ia berusia empat tahun. Ia tidak pernah malas dan sering ikut pamannya ke hutan mencari kayu bakar untuk kebutuhan padepokan. Dengan ilmu yang dimiliki Pesona, tentu saja Barat— pamannya Pesona, merasa sangat terbantu. Pasalnya bagaikan angin Pesona begitu gesit berpindah-pindah dari tempat satu ke tempat lainnya untuk mengumpulkan kayu bakar. Lihat saja, belum ada setengah hari, gerobak hampir terisi penuh dengan tumpukan kayu bakar.
“Paman,” panggil Pesona setelah meletakkan seikat kayu ke gerobak di atas tumpukan kayu lainnya. “Aku nyari kelapa muda dulu ya, haus, pengen minum.”
“Enggak usah,” sahut Barat. Ia lalu berjalan ke bagian kemudi gerobak dan mengambil dua kelapa muda yang sudah ia siapkan. Bahkan lelaki berusia tiga puluh tahun itu juga sudah melubangi bagian atasnya. “Paman sudah petik tadi, ini buat kamu.”
Pesona tersenyum hingga tercetak lesung pipi di pipinya. Tanpa ragu anak berkulit kuning langsat itu mengambil satu kelapa muda yang terulur padanya.
“Terima kasih, Paman.”
Sepertinya Pesona benar-benar kehausan, anak itu langsung menenggak air kelapa muda itu tanpa jeda hingga terdengar suara tegukan dari tenggorokannya.
Barat menggeleng heran melihat tingkah keponakannya. “Pelan-pelan, sambil duduk kalau minum.”
Sambil memegangi kelapa muda, pergelangan Pesona menggesek mulutnya, membersihkan air kelapa yang menetes di bawah bibirnya. Ia tersenyum nyengir melihat Barat sudah duduk di batu sedang meneguk kelapa muda jatahnya. Anak kecil itu lantas melangkah mendekati sang paman dan duduk di sampingnya. Namun suara telapak kaki kuda mengurungkan niat Pesona yang akan meneguk sisa air kelapa muda miliknya. Ia menoleh ke arah sumber suara dan melihat beberapa pengawal istana, kuda, dan lengkap dengan kereta kencananya.
“Paman,” ucap Pesona kemudian. “Ada orang istana.”
Barat refleks menoleh ke arah suara yang ia juga mendengarnya. Ia buru-buru berdiri setelah menyadari bahwa sang raja kerajaan Wijayakusuma ada di atas kereta kencana.
“Berdiri Pesona, ada Baginda raja.”
Meletakkan kelapa muda di sampingnya, Pesona berdiri di samping pamannya. Keduanya lantas menunduk penuh hormat ketika sang raja beserta pengawalnya lewat di depan mereka.
Pesona mengangkat kepala, menatap sang raja yang terlihat begitu gagah dengan mahkota emas di kepala dan kelat bahu yang melingkar di lengan atasnya yang kekar. Ia lantas tersenyum ketika sang raja menyapanya dengan senyum.
Ya, kemampuan Pesona sudah menyebar ke seantero daerah Candiwulan bahkan sampai ke telinga sang raja. Malah sang raja sudah beberapa kali menemui guru besar padepokan Sentana dengan tujuan menyampaikan rencana yang sudah ia persiapkan untuk Pesona, kelak ketika anak itu sudah dewasa.
“Mereka pada mau kemana ya, Paman?” Pesona bertanya setelah orang-orang istana melewatinya.
“Barangkali ke perbatasan, mungkin Baginda raja mau melihat tanah Wulandira.”
“Aku belum pernah lihat. Aku pengen ke sana, Paman.”
“Jangan terlalu sore pulangnya,” sahut Barat. “Kita masih banyak kerjaan di padepokan.”
“Iya, Paman.”
Setelah mengatakan itu Pesona meleset bagai angin, meninggalkan pamannya seorang diri dan rumput serta daun-daun yang bergoyang tertiup angin efek dari pergerakannya.
Barat hanya menggeleng. Ia lantas berjalan mendekati sapi yang ia ikat di pohon besar lantas membimbing sapi besar itu berjalan ke gerobak.
°°°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
PESONA PRAHARA {Legenda Tanah Wulandira}
FantasyBL-Mpreg, dengan latarbelakang Kerajaan. Fantasi, semua apa yang ada di dalam cerita ini adalah fiktif. Tidak ada di dunia nyata. Jika ada kesamaan tokoh, tempat, dan kejadian, itu hanya kebetulan saja. Cerita ini saya buat hanya untuk menghibur sa...