Prolog

3.5K 263 16
                                    

Perayaan tahun baru selalu identik dengan pesta sukacita, kembang api, dan acara meriah lainnya, bahkan beberapa minggu sebelum hari itu tiba, tak sedikit orang-orang yang akan berdoa—mengharapkan kebahagiaan dan keberuntungan di tahun yang akan datang.

Semoga tahun depan selalu diberi kebahagiaan, kira-kira seperti itulah doa yang dipanjatkan, tak terkecuali Hasan Pramoedya—anak laki-laki berusia 7 tahun yang selalu mengharapkan sebuah kehangatan di dalam keluarganya.

Jika ditanya apa hadiah yang sangat ingin didapatkan, maka Hasan akan menjawab dengan suara lantang, "Aku ingin dipeluk mama dan papa!" Hanya itu, tidak ada yang lain.

Sebab sejak dulu hingga sekarang, mama dan papa tak pernah memeluknya. Hasan tidak ingat kapan terakhir kali merasakan pelukan hangat sang mama, Hasan juga tidak ingat bagaimana rasanya pelukan nyaman sang papa. Yang dia ingat hanyalah kata, "Papa capek, kamu main sama bibi aja." Atau ketika dia ingin dibuatkan bekal seperti teman-temannya di sekolah, maka mama akan berkata, "Mama sibuk, minta sama bibi aja."

Dan sepertinya, keinginan Hasan untuk mendapatkan sebuah kehangatan di keluarganya tak akan pernah terwujud sebab tepat di malam perayaan tahun baru, dua minggu setelah sang kakek dari pihak papa meninggal, kedua orang tuanya berkata akan berpisah.

Hasan tidak tahu harus berekspresi bagaimana, dia hanya bisa berdiri di hadapan kedua orang tuanya yang tengah berdiskusi mengenai hak asuhnya. Hasan tidak mengerti, yang dia tahu hanyalah—ketika sepasang suami-istri memutuskan untuk berpisah, maka mereka tidak akan bisa lagi tinggal dalam satu rumah, begitu yang dikatakan kakeknya sebelum meninggal.

Jika seperti itu, apa yang harus dia lakukan sekarang?

Kakek—satu-satunya keluarga yang menyayanginya telah pergi meninggalkannya, sementara papa dan mama memutuskan untuk tidak akan tinggal lagi dalam satu rumah. Lalu, di mana Hasan akan tinggal nantinya? Hasan hanya bisa terdiam, memandangi kedua orang tuanya yang tampak sibuk berdiskusi di sofa, menandantangani beberapa lembar kertas yang berada di atas meja.

Tidak ada keraguan di antara keduanya, seolah semuanya sudah dipersiapkan sejak lama. Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk dilakukan. Tak menghiraukan anak laki-laki mereka yang masih berdiri di sana, memeluk sebuah buku iqro yang baru saja dibelikan oleh bibi—asisten rumah tangga yang selama ini mengurusnya.

"Hasan." Begitu sang papa memanggil, membuat anak laki-laki yang masih memakai baju koko serta peci berwarna hitam itu mendongak, memandang wajah tampan papa yang menghampirinya.

"Nanti besok kamu ikut sama Mama selama dua minggu, ya?"

Dan seolah jawaban dari Hasan tak begitu penting, papa sudah lebih dulu pergi meninggalkannya, keluar dari rumah tanpa mengatakan apa pun lagi.

Hasan hanya bisa termangu, memeluk erat buku iqro-nya seraya menatap sang mama yang mulai membereskan kertas-kertas.

"Mama ...."

Hasan hendak mendekat dan ingin berbicara. Barangkali mamanya ingin mendengarkan. Namun, semuanya sama saja—sama seperti papa yang pergi keluar rumah tanpa menunggu jawaban darinya, mama juga hanya berkata, "Besok kita berangkat agak siang, ya." Lalu pergi meninggalkan tanpa ingin mendengar apa yang akan dikatakan olehnya.

Lagi-lagi, Hasan hanya bisa termangu, melihat mama yang berjalan menuju anak tangga. Suara sepatu heels yang beradu dengan lantai terdengar cukup jelas di telinga, tak lama suara riuh dari kembang api yang dicetuskan ke langit pun ikut terdengar, seolah sedang merayakan hari perpisahan dan perpecahan keluarganya.

Tanpa sadar, setetes air mata membasahi pipi kanannya. Lantas dengan cepat, Hasan menyekanya setelah melihat sekeliling rumah yang tampak sepi. Papa tidak suka Hasan menangis, begitu juga dengan mama. Hasan tidak boleh kedapatan sedang menangis walaupun dalam hatinya ingin menjerit, mengadu pada mereka kalau hatinya sangat sakit.

Dermaga Hasan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang