8

1.5K 201 30
                                    

Happy reading


Malam itu, dengan pikiran yang kusut Hasan mengendarai motornya menuju rumah. Raganya memang berada di atas motor, tetapi pikirannya justru masih tertinggal di warung milik Bapak Sutrisno.

Dia masih ingat betul bagaimana Ibu Sulastri—Istri Bapak Sutrisno itu menyentuh pipinya menggunakan tangan kasar yang mulai mengeriput. Ada perasaan hangat yang menjalari hatinya. Hasan yakin pernah merasakannya, tetapi dia lupa kapan itu terjadi. Atau mungkin, dia terlalu ingin merasakan kasih sayang dari seorang ibu sehingga ketika ada yang menunjukkan kepedulian, hatinya langsung menghangat.

Ya, itu bisa saja terjadi. Lagi pula Nanda selalu mengatakan bahwa wajah Hasan itu sangat pasaran. Jadi ada kemungkinan jika anak yang Ibu Sulastri katakan sore tadi memang mirip dengannya.

Terlalu fokus memikirkan perkataan Ibu Sulastri, Hasan sampai tidak menyadari jika jalur yang dia ambil justru semakin ke tengah jalan. Sampai di mana suara klakson terdengar bersamaan dengan sorot lampu yang semakin menyilaukan, barulah Hasan tersadar dan refleks membelokkan motornya ke pinggir jalan. Namun, karena keseimbangan dia yang terganggu, motor yang dikendarainya justru terjun melewati jalan raya dan berakhir menabrak pohon mangga yang cukup besar.

Hasan hanya bisa meringis, begitu kaki kanannya tertindih oleh motornya sendiri. Rasanya sakit sekali sampai-sampai Hasan tidak mampu berdiri. Menoleh ke sana-kemari, Hasan meratapi nasibnya saat tak menemukan kendaraan lain selain mobil yang sempat membunyikan klakson tadi mulai menjauh dari pandangan. Sudahlah hampir tenggelam, sepatu dan kaus kaki yang dia taruh di bibir pantai sewaktu sore hilang, lalu sekarang jatuh dari motor pula. Benar-benar sial.

Menarik napas dalam-dalam, Hasan berusaha sekuat tenaga untuk mengangkat motornya. Begitu kaki kanan dia sudah terbebas, Hasan kembali meringis tatkala melihat darah di sekitar jempol serta mata kakinya. Belum lagi lebam yang mulai terlihat dan dia rasa, kakinya mulai membengkak.

Berusaha berdiri dengan tangan memegang pohon mangga yang dia tabrak, Hasan merasakan kakinya ngilu sekali untuk ditapakkan ke tanah. "Ini nggak ada Kunti, kan?" Mendadak dia mendongak, takut-takut ada makhluk halus yang sedang nongkrong di dahan pohon.

Menatap motornya yang tergeletak di tanah, pandangan Hasan kini mengarah pada celana kolor panjang hitam milik Pak Sutrisno yang terlihat sobek. "Gue beli yang baru aja deh nanti," gumamnya. Tidak mungkin dia mengembalikan celana yang rusak seperti ini.

Menghampiri motor dengan kaki yang pincang, Hasan berusaha untuk mendirikannya kembali. Hingga suara sirine mobil polisi terdengar mendekat, membuat Hasan refleks berbalik, melepas helm yang dia pakai dan berteriak sekencang yang dia bisa.

"Pak! Tolong, Pak! Pak!" Pemuda berkulit tan itu melambaikan tangan ke atas tatkala mobil itu hendak melintas. Beruntung, mobil polisi tersebut langsung berhenti tepat di pinggir jalan, di mana Hasan berdiri dengan satu kaki yang enggan menapak.

"Heh! Ngapain kamu? Mau berbuat mesum, ya?" Seorang polisi berbadan gempal yang baru keluar menatap tajam dengan tangan berkacak pinggang, sementara temannya yang tinggi–kekar dan terlihat masih muda bersedekap dada.

"Astaghfirullah, Pak! Mau mesum sama siapa? Kunti di pohon? Nggak doyan saya!" Detik setelah berkata demikian, angin berembus kencang dan sebuah mangga jatuh tepat di sampingnya. Hasan berjingkat, menatap horor ke atas. "Pak! Bantuin saya!" Kalau saja kakinya tak sakit, sudah dipastikan Hasan akan berlari.

Polisi bertubuh gempal itu menggeleng, berdecak seraya menghampiri Hasan. "Masih muda banget kamu. Pasti naik motornya ugal-ugalan. Punya SIM tidak?" tanyanya setelah meneliti Hasan dari atas sampai bawah; celana kolor robek dan kotor, kaki tak beralas yang berdarah, benar-benar menyedihkan. Sementara temennya yang lain, sedang mendirikan motor Hasan dan membawanya kembali ke jalan raya.

Dermaga Hasan (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang