Happy reading
"Lo nggak mau ngekos atau sewa apartemen aja gitu?"
Itu adalah pertanyaan yang sering kali Hasan dengar dari salah satu teman baiknya ketika tengah berkumpul seperti sekarang. Di salah satu warung yang letaknya berada di belakang sekolah, tempat biasa mereka berkumpul di waktu istirahat tiba.
Tidak ada yang istimewa dari warung tersebut, ukurannya pun sama seperti warung pada umumnya. Hanya saja, letaknya yang berada di luar sekolah membuat mereka betah untuk berlama-lama di sana. Mengasingkan diri dari ramainya suasana sekolah, duduk di dipan yang terbuat dari bambu yang berada di bawah pohon kersen yang letaknya berada di samping warung, lebih menenangkan dibandingkan pergi ke kantin sekolah yang ramainya bisa menyerupai pasar mingguan.
Namun, alih-alih menjawab Hasan
justru menghela napas dalam-dalam, begitu merasa dadanya seperti tengah diimpit oleh batu besar. Lalu setelah terdiam beberapa saat, barulah dia berkata, "Nanti, kalo udah lulus kuliah." Untuk yang kesekian kalinya.Itu adalah jawaban paling masuk akal yang bisa dia berikan setiap kali ada yang bertanya seperti tadi. Dan seperti sebelum-sebelumnya, dia akan melanjutkannya dengan kata, "Gue mau fokus belajar dulu, kalau bisa sampe lulus kuliah. Uang bulanan yang dikasih cuma cukup untuk bayar SPP sama jajan doang, dan gue nggak mau kerja sekarang. Ya, paling nggak ... gue nggak perlu bingung mau makan apa kalau lagi laper di rumah." Lagi-lagi, Hasan menghela napas.
Jika boleh jujur Hasan juga merasa lelah. Pulang dari satu rumah ke rumah lainnya selama 11 tahun membuatnya muak. Namun, ada satu alasan di mana dia tidak bisa pergi dan hidup sendiri seperti yang diinginkan. Ada satu alasan kenapa dia lebih memilih untuk terus pindah dari satu rumah ke rumah lainnya. Dan alasan itu cukup sederhana, membuat Hasan tidak bisa mengungkapkannya secara gamblang.
Entah kenapa, tetapi Hasan merasa yakin ada sesuatu yang ditutupi oleh kedua orang tuanya. Pasalnya, sedari kecil walaupun Hasan tidak diurus dengan baik oleh keduanya, paling tidak mereka akan bertanya, "Kamu udah makan?" Atau "Jangan sakit." Hal yang sederhana, tetapi mampu menghangatkan hatinya.
Namun, begitu usianya menginjak 17 tahun semuanya berubah. Jangankan bertanya, memikirkan Hasan masih hidup pun sepertinya tidak. Dia seperti bayang-bayang yang terlihat jika matahari sedang cerah, lalu menghilang ketika gelap datang.
Bahkan anehnya, kedua orang tuanya menikah lagi di saat usia Hasan menginjak 17 tahun. Padahal mereka bisa saja menikah setelah bercerai, mengingat papa sudah menjalin hubungan cukup lama dengan Marty.
"Bangsat!"
Umpatan yang tiba-tiba terdengar itu berhasil menarik paksa kesadaran Hasan yang sempat melamun memikirkan kedua orang tuanya.
"Kenapa, lo?" Riski, Pemuda bermata sipit yang mengaku sebagai keturunan cina itu bertanya, setelah hampir tersedak es cekek yang baru saja dibelinya.
"Gue ditolak, anjir!" Nanda berteriak kesal, pemuda yang memiliki senyum manis dan sering kali meminum jamu dengan alasan agar kuat itu misuh-misuh sendiri di tempatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dermaga Hasan (END)
Teen FictionTidak seperti anak pada umumnya, Hasan adalah salah satu dari sekian anak yang tidak mempunyai tempat untuk pulang. Apa itu rumah? Dia hanya memiliki tempat untuk singgah. Seperti sebuah kapal yang berlabuh di sebuah dermaga, begitu juga dengan Hasa...