Happy reading
Hasan tersenyum, mengucapkan terima kasih tatkala mengambil pesanan setelah menyelesaikan pembayaran. Ia baru saja selesai membeli baju koko dan gamis di salah satu butik terkenal yang ada di sana. Baju koko untuk mengganti pakaian yang Pak Sutrisno pinjamkan dulu, serta baju gamis untuk Bu Sulastri. Entah kenapa, Hasan merasa bahwa ia juga perlu membelikan satu pakaian untuk istri laki-laki tua itu.
Matahari sudah mulai bergerak ke peraduan, goresan jingga sudah mulai menghiasi langit di atas sana. Akan tetapi, bukannya segera bergerak agar cepat sampai di warung milik Pak Sutrisno, Hasan justru sengaja mengendarai motornya dengan kecepatan pelan untuk menikmati angin sore yang berembus tak terlalu kencang.
Sudah lama sekali ia tak merasakan perasaan tenang seperti sekarang. Terkadang, ia selalu bertanya-tanya, setelah tenang yang ia rasakan, apakah akan ada badai yang datang? Dan itu selalu terjadi tak lama kemudian, membuat ia sedikit takut untuk memikirkannya.
"Apa gue coba buat nggak peduli aja, ya," gumamnya. Sebab setelah insiden Sheina terjatuh dari perosotan beberapa hari lalu, ia memang sedikit menjauh dan mengenyahkan sedikit kepedulian terhadap kedua orang tuanya. Baik itu mama yang mengatainya anak pembawa sial, atau papa yang selalu mengumbar kebahagiaan bersama istrinya dan mengatakan banyak hal menyakitkan. Hasan mana tahu, sikapnya yang seperti itu akan membuat perasaannya jauh lebih tenang seperti sekarang.
Di tengah-tengah isi kepalanya yang ribut itu, Hasan jadi teringat perkataan Nanda tadi siang. Apa katanya? Membeli baju untuk anak papa dan istrinya? Hasan jadi ingin tertawa saja jika tidak ingat bahwa ia sedang mengendarai motor di jalanan.
Hasan akui bahwa ia tidak menaruh perasaan benci terhadap bayi itu. Walaupun Marty sering kali meminta papa untuk mengusirnya, bayi itu tidaklah bersalah. Hanya saja, Hasan tidak sebaik itu untuk membelikan baju untuk anak Marty. Lagi pula usia kandungan Marty baru empat bulan, mana mungkin ia mau repot-repot membelikan pakaian. Toh uang papa lebih banyak darinya, jadi ya biarkan saja.
Terlalu banyak hal yang bisa dipikirkan, Hasan sampai tidak menyadari jika motor yang dikendarainya sudah memasuki area parkir pantai. Jadi, tanpa membuang waktu lagi ia segera melangkahkan kakinya menuju warung milik Pak Sutrisno, tak lupa tiga paper bag berisi satu baju loko, celana, serta gamis milik kedua orang tua itu.
Begitu sampai, Hasan menoleh ke sana kemari. Lantaran tak menemukan keberadaan dua orang tua itu. Ke mana mereka? Kenapa warungnya dibiarkan terbuka begitu saja? Bagaimana jika ada pencuri nantinya.
"Pak!" Hasan melongokkan kepalanya ke dalam warung. Kosong, tidak ada apa pun selain kebutuhan berdagang. Ke mana mereka pergi? Kelapa-kelapa yang dijual bahkan belum dimasukkan ke dalam warung. Itu berarti pasangan suami-istri itu masih berada di sekitar sini.
Terlalu sibuk memikirkan keberadaan Pak Sutrisno dan Bu Sulastri, Hasan sampai tidak menyadari jika ada seseorang yang mendekat, sehingga ia tersentak tatkala merasakan sebuah tepukan di punggungnya.
"Astaghfirullah!" Anak itu berbalik, mengelus dadanya begitu melihat Bu Sulastri yang tengah tersenyum menatapnya. "Ibu ngagetin Hasan, aja," katanya, yang justru membuat senyum di wajah ayu itu menghilang.
Sementara Hasan tidak terlalu memperhatikan, ia justru mengulurkan tiga paper bag, menciptakan kerutan di dahi Bu Sulastri. Seolah tahu apa yang sedang wanita tua di hadapannya itu pikirkan, Hasan berkata, "Baju koko sama celana dari Hasan, buat ganti baju yang waktu itu. Hasan juga beli baju gamis, semoga Ibu suka." Dengan cengiran khas di wajahnya.
Hasan pikir, Bu Sulastri akan mengatakan sesuatu seperti terima kasih, atau kenapa repot-repot membelinya? Padahal kamu bisa saja simpan uangnya untuk kebutuhan yang lainnya. Namun di luar dugaan, wanita yang rambutnya dicepol itu justru bertanya, "Hasan apa kabar? Sehat?" Seolah ini adalah pertemuan pertama mereka kembali setelah sekian lama. Belum lagi, kedua mata itu terlihat berkaca-kaca?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dermaga Hasan (END)
Teen FictionTidak seperti anak pada umumnya, Hasan adalah salah satu dari sekian anak yang tidak mempunyai tempat untuk pulang. Apa itu rumah? Dia hanya memiliki tempat untuk singgah. Seperti sebuah kapal yang berlabuh di sebuah dermaga, begitu juga dengan Hasa...