Bagaikan sayur tanpa garam. Bagaikan boneka tanpa isi. Atau bagaikan kain tanpa helaian benang. Begitulah Dimas rasakan ketenangan menyentuh kesunyian pekat dia rasa.
Aksi jahil dan perdebatan dari dua makhluk kesabaran tipis tisu, telah tak berlangsung selama beberapa hari. Dimas masih belum berani mengunjungi sang adik. Dia takut tak tega dengan keadaan si bungsu.
Langkah kakinya sudah tak terhitung lagi berapa banyak, dia mengunjungi kamar bernuansa dino. Yaps, kamar bernuansa dino dengan aroma khas balita dua tahun. Aroma yang beberapa hari ini menjadi favorit kerinduan hati. Aroma si bungsu yang bucin dengan dino dimana-mana.
"Gue heran kenapa lo sebucin ini sama makhluk langka udah punah deh, Pung."
'No no no no no Ipung. Aja. Jangan panggil Ipung, Pung, Fung, Ifung, Cipung. Aja. Panggil adek pakai Aja.'
Yaps, begitulah omelan protes si bungsu berputar dalam benak si sulung. Senyum sendu terukir kala segala kelakuan, sang adik berputar kian memupuk rindu. Juan memang beberapa kali memang ikut menjahili si bungsu. Tetapi dia menjahili si bungsu tidak sesering si sulung.
"A, kalau kangen tuh jenguk si bungsu. Bukan sering ke kamar buat lihat mainan, kasur, dan cium aroma si bungsu doang," celetuk si tengah seraya menggelengkan kepala gemas.
Dimas terperanjat lalu menatap sang adik dengan datar. "Tidak, seperti ini saja sudah cukup."
"Apakah kau takut si bungsu tak boleh dijenguk?" celetuk Jamal ikut tiba-tiba muncul.
Dimas menatap gemas kedua adiknya, lalu menghela nafas panjang. "Tidak juga. Toh Aja akan pulang dan tak selamanya di sana bukan? Jadi lebih baik gue tunggu di rumah saja. Gue takut ganggu jam istirahat Adek."
Jamal dan Juan saling pandang sekilas, beradu dialog dalam hati.
"Nggak ikut kita tengok Adek nih A berarti?" tawar Jamal.
Dimas bimbang seketika dengan penawaran singkat dan menarik kedua adiknya. Dia menggelengkan kepala putus-putus. Tak yakin dengan keputusannya sendiri.
"Padahal si Aja sebelum di rumah cerewet panggil nama lo juga, A," jelas Jungwoo mengingat-ingat.
Dimas melirik penuh selidik si tengah. "Bohong," jawab si sulung dengan singkat karena tak percaya.
Juan mengayunkan bahu acuh. "Padahal gue udah jujur. Yang diingat si Adek itu Aa, Rafa, Papa. Udah. Kita mah serbuk upil Markono."
Dimas kian menajamkan netra ke si tengah. Mentang-mentang dirinya tengah memegang salah satu dino, si bungsu yang diberi nama Markono. Sehingga si tengah memilih menyebut nama itu.
"Gak, gue benerin mau di rumah aja. Kalian kalau mau berangkat ya udah buru. Keburu jam jenguk habis ntar."
Senyum jahil tersungging bersamaan dikedua paras tampan adiknya. Dimas membelalakkan mata garang, bermaksud mengancam kedua adiknya.
"Ok, bye Aa. Kita lama loh soalnya gantiin jaga Mama sama Sus," goda si tengah kian menipiskan kesabaran si sulung.
"Buru atau gue timpuk nih pakai Markono."
"Jangan A, ntar diminta Aja beliin satu truk loh malahan. Mobil-mobilan aja belum lo beliin, A," tambah Jamal ikut memanas-manasi.
Bantal boneka dengan karakter wajah si bungsu menjadi sasaran Dimas untuk dilemparkan. Jamal dan Juan terbirit-birit menuju ke garasi, sebelum jiwa kegarangan sang kakak kian pekat.
WhatsApp grup one notification
Aa Dimas
| Kalau udah di sana kabarin Aa.
| Pap juga tapi di bungsu aja yang dilihatin.
| Ceritain gimana keadaan Adek.
| Jangan bikin Adek makin sakit lo berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kembar Beda Generasi
FanfictionUpdate setiap Kamis/Jumat "Aja mirip siapa?" "Mirip Aa Dimas." "Ma! Aa Dimas! Mie dan telor adek!" "Loh-loh padahal telur yang makan Bang Juan tapi Aa lagi. Mas Jamal jawab dong jadi saksi kok diem," perintah Doyoung pada Jaehyun sedari tadi asyik b...