Tak Ingin Pulang

18 2 0
                                    

Tak mau pulang, maunya di Pluto🎵
Tak mau pulang, maunya di Merkurius 🎵
Tak mau pulang, maunya sama Om Lucinta🎵

Bukankah isi otak kalian terbesit begitu kala melihat judul bab kali ini? Ditambah akan kian menyanyikan lagu tak mau pulang, kala melihat lelaki saat ini telah rapi dan bersiap mengunjungi seseorang sangat dia rindu-rindukan.

Selama mengemudi otaknya tak henti berjungkir balik. Membayangkan keadaan terkini si bungsu. Membayangkan reaksi si bungsu karena dirinya baru menjenguk. Dan tentunya omelan para saudaranya kompak menginap bersama orangtuanya, sedangkan dia takut dan memilih bertahan di rumah hingga hari ini.

Kakinya memelan setibanya di lobby di rumah sakit. Netranya menatap kosong jalanan rumah, walau aroma infus belum begitu terendus. Lamunan melalang buana di benak hingga membuat si sulung tak sadar bila telah berada di lift.

"Loh Aa?"

Pemilik suara tak asing dan sebutan panggillan sehari-hari juga tak asing, membuat Dimas seketika tertampar dari lamunan. Netranya semula menatap kosong jalanan, seketika kembali fokus. Netranya terbelalak terkejut bertemu dengan adek ketiganya.

"Rafa sendirian?" Pertanyaan bodoh memang. Jelas-jelas netranya tak menatap sang adik bila ditemani.

Rafathar menoleh ke sana kemari. Beruntunglah lift hanya dihuni keduanya saja. Dimas tersenyum kikuk kala melihat sang adik yang tampak menahan kesal.

"Berdua kok."

Jawaban tiba-tiba Rafathar membuat kening si sulung mengernyit. Kernyitan tersebut hilang kala menyadari maksud sang adik. Salah tapi tak salah. Benar tapi juga tak benar. Kalian mengerti yang dimaksud bukan? Yaps begitulah yang Dimas rasakan.

Dimas tersenyum kaku mendengar jawaban Rafathar. "Untung adek gue lo," omel Dimas kesal.

Rafathar mengayunkan bahu acuh dan santai. Keduanya kompak menanti tanda lantai tujuan mereka telah tiba. Pintu lift kembali terbuka, kala lantai dituju telah tiba.

"Rafathar, yang lain lagi pada ngapain kok adek turun sendiri?"

Rafathar menunjukkan kedua tangannya berisikan, banyak stok makanan di plastik. "Tadi ke taman sebentar buat main terus ambil makanan, Aa."

Dimas kembali hening mati kutu bingung dengan topik hendak dibahas. Otaknya berputar-putar membayangkan reaksi keluarganya, karena dia baru menjenguk dibanding mereka telah lama menemani si bungsu.

"Aa Rafathar kok pintunya dibiarin kebuka gak ditutup lagi? Kan AC nyala, Sayang. Emang ada siapa sih?"

Lagi-lagi Dimas langsung mengenali pemilik suara, tak hingga dalam waktu satu detik. Degup jantung kian menggebu-gebu berdetak. Dimas meneguk ludah kasar.

Ketukan pelan karena ragu Dimas lakukan. Netra penghuni-penghuni kamar inap si bungsu seketika menatap si sulung. Bak telah mengetahui bahwa sang kakak akan berkunjung, dan sangat hafal dengan aromanya. Si bungsu semula hendak bersiap membidik alam mimpi dituju, seketika kembali membuka mata kala indera penciumannya merasa tak asing.

"Aa Di."

"Aa jelek!"

"Huh! Adek kesal, kenapa Aa baru kemari?"

"Sana saja Adek tidak perlu Aa."

"Keluar!"

"Adek," tegur Jamal, Juan, dan Rafathar bersamaan.

Mama Gigi dan Papa Raffi mengode agar putranya mendekat.

"Dek."

"No no no. Aja kesal. Hus hus hus sana."

Dimas tersenyum miris. Padahal biasanya sang adik antara menangis histeris, atau berlari terbirit-birit kabur ntah kemana. Tetap ntah kenapa kali ini sang adik justru membuatnya kesal. Dia menatap sendu berharap si bungsu terayu.

"Aja," ulang Dimas kembali memanggil si bungsu.

Layaknya drama-drama pelukan kakak beradik itu seakan-akan tak terjadi apapun, dengan terkesan harmonis tanpa dibumbui perselisihan kecil. Si bungsu menangis kerinduan dan Dimas mendekap rindu sang adik. Dia juga rindu sang adik kala sehat bugar.

Kembar Beda Generasi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang