Tekok dan Emiih

230 13 0
                                    

Keheningan rumah dipecahkan oleh sang alam, yang menurunkan buliran rintik hujan. Tak takut diinjak dan terkena kotornya jalanan, ia justru kian kencang dengan sang sahabat yaitu angin yang kencang. Atap-atap beradu suara bak lomba vokal. Jemuran berada di luar tanpa diamankan membuat suara tapak kaki menyusul, orang-orang bergegas ke dalam hangatnya rumah.

"Mie instan massal pada mau nggak?" tanya sang kepala keluarga dari arah dapur, dengan niat semula mengambil minum saja.

"Yah, kok tawarinnya pas Mas Jamal kenyang sih Pa."

"Juan mau tapi nanti deh Pa."

"Dimas pengen tapi buatan Mama aja soalnya buatan Papa asin."

"Aa mau tapi nanti deh bareng adek Aja biar separuhan."

Papa Raffi memutar bola mata kesal. Ya, dia akui apabila rupa masakannya memang tak semengiurkan hasil tangan sang istri. Makanannya hanya akan berlaku dimakan oleh putra kedua, ketiga, dan keempatnya saja. Itupun dalam tanda kurung sebagai makanan urgent. Sedangkan si sulung dan bungsu sangat menolak hasil makanan sang Papa.

"Ya sudah kalau gitu Papa buat diri Papa sendiri loh ya. Ini beneran pada gak mau kan?"

Papa Raffi tersenyum kecut kala keempat putranya hening di ruang keluarga. Tangannya sibuk meracik mie instan, lalu di bawa ke atas untuk menemui sang istri.

"Aja! Aja, mau mie juga gak?"

Balita berusia dua tahun lebih beberapa bulan itu menggelengkan kepala. Menghirup aroma yang terasa sangat asin, membuat dia spontan menggeleng.

"Mama emiih."

"Iya sebentar ya Dek."

Rayyanza atau balita akrab disapa Aja menganggukkan kepala patuh. Dia menggandeng erat betis sang Mama, seraya menyimak sang Papa mulai makan.

"Dimas, Jamal, Juan, sama Rafa Papa buatin juga?"

Papa Raffi menyedot mie-nya agar terputus, sebelum menggelengkan kepala. "Mereka bilang nanti, ada yang menunggu Mama, ada yang mau separuhan sama adek, ada yang bilang belum laper tapi kalau aroma mie campur hujan juga langsung ngibrit tuh."

"Tapi cuma berlaku kalau mie buatan Mama sih," sambung Papa Raffi.

Mama Gigi menggelengkan kepala heran. Ya, beginilah keluarga absurd-nya. Si sulung, bungsu, dan tengah saling menjaga tetapi juga rebutan walau si sulung dan tengah telah bujang. Serta si paling kembar beda generasi dan umur, yaitu Mas Jamal dan Rafathar.

"Anak-anak! Mie-nya sekarang ya?"

"Ah Mama mau Juan jadi dikalahin Rafa."

"Siapa suruh Abang gak fokus begitu denger kata mie. Iya kan Mas?" Jamal menganggukkan kepala menyetujui perkataan salah satu adiknya.

Dikarenakan telah merengek sedari tadi, sedangkan para kakak masih asyik bermain games, serta kata sang Papa berintikan ingin nanti jadilah Mama Gigi terlebih dahulu membuatkan mie untuk si bungsu.

"Duh Dek."

"Apa?"

"Kenapa Adek bukan apa."

"Iya, napa?" Si bungsu mengulang bertanya setelah dibenarkan kosakatanya.

"HP Mama ketinggalan di atas. Mama tinggal sebentar ya? Kalau ada apa-apa sama Aja, Mas, dan Abang, ok? Atau panggil sus--"

"Tel!"

"Nah, Adek tunggu tenang di sini, ya. Nanti Mama ke sini lagi."

"Oke."

Si sulung dan tengah memilih terlebih dahulu melipir. Kala Jamal dan Rafathar memilih lanjutkan permainan, sedangkan keduanya mulai sangat kelaparan. Kening keduanya spontan mengernyit kala hanya menemukan si bungsu saja. Tak terdengar suara tapak kaki di anak tangga membuat Dimas dan Juan menatap heran sang adik.

"Dek, Mama mana?" ungkap Juan bertanya.

Rayyanza menunjukkan tangga bermaksud apabila sang Mama mengambil handphone. Melihat mie sang adik yang menggiurkan walau porsi sedikit, tetapi dengan gorengan telur mata biawak membuat cacing di perut kian meronta.

"Dek Aa sama Abang ke sini di panggil Mas Jamal sama Aa Rafa, Adek ke bawah ke mereka sebentar ok?"

"Emiihh tekok Aja? (Mie dan telor Rayyanza?)"

"Aman Aa jagain dari Abang biar gak dimakan, ok?"

Si bungsu yang polos dan menggemaskan. Dengan dibantu Juan turun dari kursi bayi, Rayyanza berlari kecil menghampiri Rafathar dan Jamal. Dimas dan Juan memandang gemas langkah si bungsu, sebelum kembali menatap lapar makanan sang adik.

"Aman, Juan?"

"Aman Aa."

Rayyanza memajukan bibir kesal bersama dengan perut kecilnya membuncit yang juga ikut maju. "Mas Mal dan Aa Thar panggil Aja? (Mas Jamal dan Aa Rafathar panggil Rayyanza?)"

Kedua pemilik nama spontan menoleh serta mengernyitkan dahi. Mereka ingat dan merasa tak memanggil. Hm, agaknya mereka mencium suatu alasan bersama melihat gerak-gerik mencurigakan dari dapur sana.

"Tidak kok kami tidak memanggil Aja," kelas Jamal.

"Ish Aa! Abang! Emiihh dan tekok adek!"

"Mama emiihh tekok Adek!"

Kembar Beda Generasi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang