</BAB 9>

57 37 4
                                    

Enjoy reading

seperti biasa jangan lupa tinggalkan jejak vote dan komennya yaa


Ada perasaan yang aneh ketika semakin banyak hal baru dipelajari—seperti membuka satu pintu hanya untuk menemukan seribu pintu lain yang masih tertutup. Setiap pengetahuan baru menyingkap misteri, namun juga menambah pertanyaan. Ilmu mengalir tanpa henti, mengisi kekosongan dan membentuk cara pandang yang tak lagi sama. Semakin banyak yang dipahami, semakin jelas bahwa yang belum diketahui jauh lebih luas, seolah berlari mengejar cakrawala yang tak pernah bisa digapai. Namun, justru dalam ketidaktahuan itulah semangat untuk terus belajar semakin menyala, membawa diri ke arah yang tak pernah terbayangkan.

Pagi itu, ruang kelas penuh dengan wajah-wajah lelah dan kantuk para mahasiswa yang baru saja bangun dari tidur malam yang kurang. Cahaya matahari belum sepenuhnya masuk ke dalam ruangan, tapi layar-layar komputer sudah menyala dengan deretan kode yang tampak seperti labirin tak berujung. Mata kuliah coding yang dijadwalkan di pagi hari selalu menjadi mimpi buruk; bukan hanya karena materi yang rumit, tapi juga karena otak yang masih belum sepenuhnya terjaga. Di sudut ruangan, terdengar gumaman keluhan kecil dari beberapa mahasiswa yang berusaha keras memahami logika program yang terasa seperti teka-teki tanpa solusi. Untuk mereka, mata kuliah ini lebih dari sekadar tugas akademis—ini adalah perjuangan antara tetap terjaga atau menyerah pada rasa pusing yang tak kunjung hilang.

"Saya tunggu codingannya sampai jam 1 siang, bisa dikirim ke classroom" ucap sang dosen mengakhiri mata kuliahnya. Atau bisa dibilang tidak selesai dengan semudah itu, sang dosen masih meninggalkan kesan pening bagi seluruh kelas dengan tugas dadakannya yang meminta seluruh mahasiswa membuat kalkulator berbasis website.

Iya, kalkulator. Tidak hanya sebagai pajangan saja, tapi harus bisa sampai menghitung dengan benar. Disitulah masalahnya, ketika ada satu saja operasi matematika yang salah dihitung maka codingannya dianggap gagal dan akan diberi nilai C. Kemudian yang menjadi syarat utamanya juga, harus diperlihatkan semua angka dan operasi matematika pada kalkulatornya (tidak berbentuk menghitung secara input).

Tepat ketika sang dosen mulai keluar ruangan, suara teriakan mulai memenuhi seluruh kelas mengeluarkan unek-unek yang sedari tadi ditahan untuk tidak bersuara. Apalagi sang dosen kali ini terkenal cukup killer dan beliau yang sulit untuk memberi nilai mahasiswanya.

"Zafnann ini kenapa angka angkanya malah pada mencar??!" adu Aresa memegangi keningnya yang terasa pusing.

"Iket Sa, diiket dong!" sahut Andika terkekeh

"Ini liat duluu bantuin gue dong, kenapa angkanya malah ga sejajar kayak kalkulator biasanyaa?" adu Mella juga berpindah ke meja Gio dan yang lainnya untuk meminta bantuan. Jadilah bangku yang tadinya berbaris rapi menjadi cukup berantakan karena digeser kesana kemari oleh semuanya.

"Pake stylc CSS nya coba, kelompokin" suruh Zaki kepada Aresa yang sudah pusing menghadapi codingan "Gini nih"

Dan beberapa sahutan lainnya di kelas itu yang berdiskusi juga membantu satu sama lain dalam problem solving code nya.

Naretta sendiri masih ada di pojok ruangan, fokus meneliti per baris codingan nya karena tidak berjalan. Bagaimana bisa codingan itu sangat error? Bahkan untuk pertambahan 1+1 saja hasilnya sama dengan 11. Error sekali sama seperti pemiliknya.

Duh, gabisa fokus kalau berisik. Ingin sekali sebenarnya Naretta berucap demikian, tapi ia cukup sadar diri bahwa disini yang pusing bukan hanya dirinya saja.

Berulang kali ia memperbaiki dan meneliti, hingga 15 menit kemudian ia sudah ada di tahap depresi melihat codingannya justru semakin melenceng kemana-mana. Ini begimana ceritanya 12-10 hasilnya jadi 0,000? Tadi aku salah hapus apa dah? Kan jadi lupa lagi!

LOVE PROGRAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang