5. Meet

4 1 0
                                    

"Hah, akhirnya selesai juga." Elang meregangkan otot-ototnya yang terasa pegal setelah bergantian tarik-dorong gerobak dengan para pedagang.

Jarak Konegade ke perbatasan desa Sora memang tidak terlalu jauh apalagi lewat hutan selatan, karena itu hari masih tampak cerah saat mereka selesai mengantarkan pedagang pada klien mereka. Elang, Rosemary, dan Sean beristirahat sejenak untuk memulihkan tenaga. Walau misi ini tidak terlalu berat, tapi tetap saja tarik-dorong gerobak dengan muatan penuh itu melelahkan.

"Berapa lama lagi kita akan beristirahat? Aku takut memilih jalan yang salah kalau kita kembali terlalu sore." Sean menyela saat mereka sudah beberapa lama istirahat di sana.

"Benar juga, sebaiknya kita bergegas." Rosemary menyahut dan dengan segera merapihkan barang bawannya, begitupun dengan Sean dan Elang.

"Ternyata hutan ini tidak semenyeramkan yang dijelaskan Sean." Elang menggumam sambil berjalan mengikuti Sean dan Rosemary di depannya. "Ah, atau jangan-jangan..." Elang berlari ke depan dan menghadang jalan Sean. Sepasang samudranya menelisik ke kedalaman intan kelam milik Sean. "kau hanya mau menakut-nakutiku? Iya kan? Mengaku saja kau Sean!" Elang sudah bersungut-sungut. Sepanjang perjalanan tadi tidak terjadi apa-apa. Mungkin Sean hanya disuruh Rosemary untuk mengerjainya dengan tujuan agar Elang tidak ceroboh. Ya, pasti begitu.

"Itu memang yang tertulis di buku, kalau kau tidak percaya kau boleh datang ke rumahku setelah kita kembali dan aku akan menunjukkannya padamu."

"Ah pasti bukumu itu buku mitos atau sejenisnya, iya kan?" Elang terus mendesak.

"Sudahlah Elang! Apa sih yang kau katakan, kita harus segera pulang sebelum petang. Sean tidak bisa memlih jalan yang benar kalau sudah malam." Rosemary menyela, karena sedikitnya ia tahu bahwa rumor tentang hutan selatan itu adalah benar, bukan hanya mitos seperti yang dipercayai oleh Elang.

"Huh aku tidak percaya, kalian pasti membohongiku." Elang melengoskan kepala dan berniat melanjutkan perjalanan, tapi sialnya kakinya tiba-tiba saja tersandung batu kecil di tepi jalan, lalu cahaya yang menyilaukan muncul begitu saja seperti berniat membutakan matanya hingga ia harus memejamkan matanya erat-erat.

"Ouh." Elang mengerang saat merasakan bokongnya mencium tanah.

Apa-apaan sih tadi? Cahaya apa pula itu? Di tengah kekesalannya Elang diserbu oleh sebuah keanehan. Jika ia tersandung batu, seharusnya ia jatuh terjerembab bukan jatuh terduduk. Dan saat Elang mengedarkan pandangan ke sekeliling lalu tidak mendapati Sean dan Rosemary dalam jarak pandangnya, ia mulai panik.

"Rosemary! Sean! Hoi! Kalian mendengarku? Rosemary! Sean! Kalian di mana?"

Elang berteriak sambil memutar tubuhnya dan sama sekali tidak mendapati Rosemary dan Sean di manapun. Kalau diingat-ingat kembali sepertinya ia bukan berada di tempat di mana tadi ia bersama Rosemary dan Sean. Ya benar! Bukankah tadi hari sudah menjelang senja, tapi kenapa di sini rasanya matahari masih ada di atas kepala. Mendadak perkataan Sean dan Rosemary tentang hutan selatan berputar-putar dalam kepalanya seperti kaset rusak. Jangan-jangan-

"Huwaaaa."

Serbuan ribuan jarum beraliran listrik memutus lamunan Elang. Ia hanya bisa menghindar dan sesekali menggunkan pisau kecil untuk menangkis. Ini buruk! Mungkin ia benar-benar sudah masuk ke dimensi lain dan tidak akan menemukan jalan keluar. Elang masih merasa takut jika ia tidak bisa kembali. Rasanya ia ingin menangis seperti dulu saat ia masih kecil dan tersesat di jalan. Bagaimana reaksi ibu dan ayahnya nanti? Terkutuklah kecerobohan yang tidak bisa hilang dari diri Elang.

"Apa yang kau inginkan?"

Suara jernih seseorang membawa Elang kembali menginjak realitas. Elang seperti pernah mendengar jenis suara seperti ini sebelumnya, tapi entah di mana. Langsung saja Elang menoleh ke sumber suara dan Elang mendapati seorang gadis seusianya tengah berdiri tak jauh darinya dengan punggung menghadap ke arahnya. Baju berlambang kipas warna hitam dengan lingkaran merah berisi bunga, serta rambut hitam panjang yang diikat tinggi. Elang ingat ia pernah melihatnya, dan kali ini Elang benar-benar menangis, karna dia bahagia.

"Gweeeeennn!" Demi apapun suara Elang terdengar bergetar sebelum terisak-isak seperti hari-hari lampau saat ia tersesat dan menungggu seseorang yang ia kenal menemukannya di tepi jalan.

Saat seseorang yang dipanggil Gwen itu membalikkan badannya, Elang sudah lebih dulu menerjangnya dengan pelukan super erat sampai Guinevere sendiri kesulitan bernapas.

"Lepas idiot! Kau ingin membunuhku!" ucapnya tajam begitu berhasil melepaskan pelukan Elang.

"Gwen!" Elang mengusap-usap matanya yang masih berair. Baru saja Elang berniat memeluk Guinevere lagi kalau tidak merasakan logam tipis nan dingin di depan lehernya.

"Berhenti di situ Cyane!"

"Uwaaaa. Oke-oke aku menyerah." Elang mengangkat kedua tangannya ke atas.

"Idiot, kau mengganggu tidur siangku." Guinevere menyarungkan kembali pedangnya.

"T-tunggu dulu! Kenapa kau bisa ada di sini?" Elang mengikuti Guinevere yang berjalan menuju salah satu pohon dan duduk di bawahnya.

"Harusnya itu yang jadi pertanyaanku. Kenapa kau ada di sini?"

"Hei! Kenapa kau menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan?" Elang mulai kesal dengan jawaban Guinevere. Cih, dia masih semenyebalkan dulu ternyata.

"Hm."

"Gwen!"

"Kau mengenalnya Gwen?" Seorang lelaki paruh baya bersurai merah hati dengan iris berwarna emerald dan berkulit tan tampak berjalan menuju ke arah mereka dan Elang tidak tahu dia siapa juga harus bersikap bagaimana.

"Iya, dia temanku."

"Oh kukira siapa lagi yang tersesat ke sini." Lelaki itu memberikan cengiran lebar pada Guinevere sebelum menoleh ke arah Elang. "Kau beruntung Nak, tersesat ke daerah ini, kalau sampai kau tersesat di bagian barat mungkin kau sudah mati dicabik-cabik monster, hahahaha." Lelaki itu tertawa membuat Elang bergidik ngeri. "Nah Gwen, mungkin sudah waktunya kau pulang."

"Kau yakin mengurus hutan ini sendiri?" Guinevere menyahut, Elang hanya memerhatikan percakapan mereka, karena sungguh dia tidak punya cukup ide tentang apa yang dibicarakan Guinevere dengan lelaki aneh itu.

"Tidak apa, lagipula aku yakin kau sudah tidak membutuhkan bantuanku lagi untuk menyempurnakan jurusmu itu."

"Apa boleh buat, jika itu keputusuaanmu. Aku akan pergi sekarang, semoga kau tidak kesepian." Guinevere berdiri dan Elang ikut berdiri dengan gelagapan. Ia takut ditinggal sendirian di tempat aneh ini.

"Datanglah kemari kalau ada waktu, jaga dirimu baik-baik." Lelaki itu mengusap rambut Guinevere penuh sayang. "Dan kau anak muda, semoga beruntung dan jangan tersesat lagi, hahahaha."

"I-iya Paman." Elang tersenyum kaku.

"Paman Arashi, terima kasih." Guinevere tersenyum tulus yang dibalas dengan anggukan mengerti dari lelaki yang dipanggilnya Paman Arashi tadi. "Aku pergi." Guinevere menggenggam tangan Elang sebelum berjalan mendekat ke tempat di mana Elang pertama kali datang dan cahaya yang menyilaukan mata kembali memghampiri pandangan Elang saat itu.

PandoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang